Ranahpasundan's Blog

Just another WordPress.com weblog

free counters

October 19, 2009 Posted by | 1 | Leave a comment

Kerajaan Talaga di Majalengka

  Sejarah Ringkas “Talaga Manggung”

Apr 22, ’08 11:11 PM
for everyone


Kenging nyatut ti Blog sabeulah :
Nun jauh di lereng Gunung Ciremay sebelah selatan, di sekitar Desa Sangiang Kecamatan Talaga Kabupaten Majalengka, berdiri satu Negara yang disebut dengan Kerajaan Kerajaan Talaga. Yang pertama-tama mendirikan dan mengolah Negara tersebut yaitu Batara Gunung Picung, putera keenam Ratu Galuh Ajar Sukaresi atau disebut juga Maharaja Sakti Adimulya (1252 – 1287 M).
Adapun Ratu Galuh Ajar Sukaresi sendiri mempunyai delapan putera/puteri dari isteri beliau yang berlain-lainan. Nama-nama mereka itu adalah:

  1. Prabu Hariangbanga: Menurunkan para raja di daerah Jawa Timur, seperti Prabu Brawijaya II sampai Prabu Brawijaya V;
  2. Maharajasakti: Menurunkan para raja di tanah Pajawan;
  3. Prabu Ciungwanara (1287 – 1303 M): Menurunkan para raja di Pakuan dan Pajajaran;
  4. Ratu Ragedangan;
  5. Prabu Haurkuning, Maharaja Ciptapermana I (1580 – 1595 M);
  6. Batara Gunung Picung (1595 – 1618); Menurunkan Raja-Raja Talaga;
  7. Ratu Permana Dewa; dan
  8. Bleg Tamblek Raja Kuningan.

Adapun Batara Gunung Picung (Ciptaperman II) beliaulah yang menjadi Raja pertama di Talaga (Talagamanggung), dari beliau itu pula menurunkan:

  1. Sunan Cungkilak;
  2. Sunan Benda;
  3. Sunan Gombang;
  4. Ratu Ponggang Sang Romahiyang; dan
  5. Prabu Darmasuci I.

Prabu Darmasuci I
Prabu Darmasuci I mempunyai dua orang putera yang akan melanjutkan silsilah Kerajaan Talaga pada masa berikutnya, dua orang putera beliau itu adalah:
    1. Bagawan Garasiang; dan
    2. Prabu Darmasuci I (Prabu Talagamanggung).
Bagawan Garasiang
Putera sulung Prabu Darmasuci I adalah Begawan Garasiang, beliau adalah orang yang gemar bertapa dan merenung sehingga beliau menjadi seorang Begawan Hindu Kahiyangan. Ia mendirikan padepokan di satu gunung kecil yang disebut Pasir Garasiang, terletak di daerah perbatasan antara Kecamatan Argapura dan Talaga sekarang. Beliau mempunyai puteri yang bernama Ratu Putri Mayangkaruna, yang kemudian diperistri oleh Prabu Mundingsari Ageung, putera Prabu Siliwangi II (Raden Pamanah Rasa)[2] dari Pajajaran.
Kalau kita perhatikan, dengan adanya pernikahan Putri Talaga dan Putra Pajajaran, ini adalah hukum yang tidak tertulis akan tetapi menjadi ciri khas langkah strategis dan politis raja-raja Pasundan untuk mempertahankan keutuhan Negara dan ikatan kekeluargaan melaui jalan pernikahan di antara para penguasa wilayah Pasundan. Dengan memperhatikan asfek-asfek penting inilah sikap silih asih, silih asah, silih asuh akan terekat kuat.
Prabu Darmasuci II (Prabu Talagamanggung)
Prabu Darmasuci II (Prabu Talagamanggung) bersemayam di Talaga, keraton beliau terletak di Sangiang, dengan panorama situ keraton yang indah yang disebut Situ Sangiang. Menurut catur para sepuh Talagamanggung adalah seorang Narpati yang sakti mandraguna dan weduk (tidak tembus senjata). Beliau mempunyai sebuah senjata pusaka yang diberi nama “cis”, bentuknya seperti tombak kecil atau sekin. Konon, bahwa beliau ketika lahir tidak memiliki pusar seperti halnya orang pada umumnya. Menurut ceritera pula Prabu Talagamanggung hanya mempan ditembus senjata oleh senjata CIS-nya itu.
Pada masa pemerintahan Prabu Talagamanggung Kerajaan Talaga mengalami kemajuan yang gilang-gemilang dan kondisi sosial masyarakatnya semakian tentram dan mapan. Dengan demikian banyak orang yang berasal dari negara dan daerah lain ikut menetap di Talaga.
Prabu Talagamanggung mempunyai seorang menantu yang berasal dari Bangsawan Palembang yang bernama Palembangunung (suami Putri Dewi Simbarkancana), pada suatu kesempatan Palembanggunung mengadakan gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari mertuanya. Akhirnya Palembanggunung dengan komplotannya, melalui oleh seorang pengawal pribadi Sang Prabu, Centrangbarang (yang ditugaskan mengurus senjata) ia berhasil mencuri senjata CIS tersebut dan memberikannya kepada Palembanggunung yang kemudian digunakan untuk menusuk tubuh Sang Prabu. Dalam peristiwa itu Prabu Talagamanggung terluka dan kemudian tubuhnya menjadi lemas dan akhirnya meninggal. Jenazah beliau diurus sesuai ajaran Agama Hindu Kahiyangan, abu jenazahnya di larung di Situ Sangiang[3].
Pada masa hidupnya, Prabu Talagamanggung mempunyai satu orang putera dan satu orang puteri; Raden Panglurah dan Raden Dewi Simbarkancana.
Raden Panglurah
Dari usia kecil ia sudah rajin melatih diri, berangkat ke Gunung Bitung[4], beliau bertapa di bekas bertapa uyut beliau, Ratu Ponggang Sang Romahiyang. Raden Panglurah[5] adalah seorang sosok putera penguasa (raja) yang memiliki sifat-sifat zuhud, meninggalkan kesenangan dunia) dan lebih memilih untuk mengolah jiwa dan mengembangkan asfek-asfek spiritual yang telah dikaruniakan Tuhan kepadanya. Dalam kata lain Radan Panglurah lebih memilih ketentraman dan kesenangan runani serta penghambaan kepada Tuhan Semesta alam.
Raden Dewi Simbarkancana
Raden Dewi Simbarkancana walaupun seorang puteri beliau banyak memiliki sifat-sifat kepemimpinan yang diwarisi ayahanda beliau, Prabu Talagamanggung. Beliau menikah dengan Palembanggunung, Pepatih kerajaan. Pada mulanya Dewi Simbarkancana tidak mengetahui bahwa kematian ayahanda beliau itu didalangi suaminya sendiri, akan tetapi sabuni-bunina mungkus tarasi lambat laun kebusukan sang suami diketahui juga oleh beliau. Sepeninggal Prabu Talagamanggung, Kerajaan Talaga untuk sementara waktu dikuasai oleh Palembanggunung.
Dewi Simbarkancana merasa sangat terpukul, beliau ceurik balilihan[6] (menangis dengan sangat menderita batin) karena dua hal: pertama, karena beliau dihianati oleh suami beliau sendiri; yang kedua, karena ditinggal oleh ayahanda tercinta dengan peristiwa yang memilukan. Menurut beliau, siapa orangnya yang tidak berduka hati ketika ditinggal sang ayah. Ayahanda beliau, sesorang yang sudah berbuat baik mengangkat derajat Palembanggunung dibalas dengan perilaku yang sangat keji. Air susu dibalas air tuba itulah yang terjadi. Akhirnya dengan keberanian beliau, Dewi Simbarkancana berhasil membunuh Palembanggunung dengan susuk kondenya.
Selanjutnya Raden Dewi Simbarkancana menikah dengan Raden Kusumalaya (Raden Palinggih) dari keraton Galuh, putera dari Prabu Ningrat Kancana. Beliau adalah seorang yang masagi pangarti (cakap lahir batin), seorang tabib dan ahli strategi. Beliau berhasil menumpas tuntas gerakan bawah tanah Palembanggunung dan komplotannya, dengan demikian kekuasaan dapat diambil kembali, keamanan dan ketertiban negara kembali menjadi stabil dan kokoh.
Dari pernikahan Dewi Simbarkancana dengan Raden Kusumalaya membuahkan delapan orang putera, yaitu:
    1. Sunan Parung (Batara Sukawayana);
    2. Sunan Cihaur, (Mangkurat Mangkureja);
    3. Sunan Gunung Bungbulang;
    4. Sunan Cengal (Kerok Batok);[7]
    5. Sunan Jero Kaso;
    6. Sunan Kuntul Putih;
    7. Sunan Ciburang; dan
    8. Sunan Tegalcau.[8]

Perpindahan Pertama Pusat Kerajaan (ke Walangsuji)
Menyusul kekacauan yang menimpa keraton Sangiang, yakni dengan adanya rajapati terhadap Prabu Talagamanggung dan pemberontakan yang didalangi sang menantu durhaka, hal ini mendorong Ratu Simbarkancana untuk memindahkan pusat kerajaan dari tutugan Gunung Ciremay ke Walangsuji, di Desa Kagok, Kemantren Banjaran, Kecamatan Talaga sekarang.
Pusat pemerintahan di Walangsuji nampaknya tidak begitu lama, boleh dikatakan hanya sapanguluban waluh. yakni pusat kerajaan hanya bertahan di Walangsuji selama tujuh tahun tiga bulan[9]. Setelah Penguasa Talaga memandang dari berbagai segi akhirnya diputuskanlah bahwa Walangsuji kurang strategis untuk tetap dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Talaga sehingga pusat karajaan harus segera dipindahkan kembali.
Perpindahan Kedua Pusat Kerajaan (ke Parung)
Sepeninggal Ratu Simbarkancana, Kerajaan Talaga dipegang oleh putera sulung beliau yang mendapat julukan Sunan Parung (1450 M). Setelah Sunan Parung mangkat, pemerintahan diserahkan kepada satu-satunya puteri beliau yang bernama Ratu Dewi Sunyalarang (1500 M) yang di kemudian hari mendapat julukan Ratu Parung.
Dewi Sunyalarang (Ratu Parung) menikah dengan Raden Ragamantri, putera Prabu Mundingsari Ageung dari Ratu Mayangkaruna. Raden Ragamantri adalah cucu dari Begawan Garasiang dan juga cucu dari Prabu Siliwangi II (Jaya Dewata atau Pamanah Rasa). Pada masa pemerintahan Dewi Sunyalarang inilah pusat kerajaan dipindahkan ke Parung.


KERAJAAN TALAGA ISLAM

Ratu Sunyalarang dan Raden Ragamantri Masuk Islam
Pada tahun 1529 Ratu Parung dan Raden Ragamantri mengucapkan syahadatain, masuk agama Islam, melalui dakwah Sunan Gunung Djati yang dibantu para dai Cirebon. Selanjutnya Sunan Gunung Djati (Syaikh Syarif Hidayatullah) memberikan gelar Prabu Pucuk Umum Talaga kepada Raden Ragamantri sebagai bentuk penghormatan kepada beliau dan keluarga besar Talaga serta ungkapan rasa syukur ke Hadhirat Allah Ta’ala.
Hasil pernikahan Ratu Parung, Ratu Sunyalarang dengan Raden Raganantri, Prabu Pucuk Umum Talaga dikaruniai enam putra, yaitu:

  1. Prabu Haur Kuning;
  2. Aria Kikis, Sunan Wanaperih;
  3. Dalem Lumaju Ageng Maja;
  4. Sunan Umbuluar Santoan Singandaru;
  5. Dalem Panungtung Girilawungan Majelengka; dan
  6. Dalem Panaekan.

Ratu Dewi Sunyalarang pada awalnya dimakamkan di tepi Sungai Cilutung, dan demi keamanan dan pengikisan oleh air kemudian makam beliau dipindahkan ke makam keluarga Raden Natakusumah di Cikiray oleh Raden Acap Kartadilaga pada tahun 1959 M. Sedangkan Raden Ragamantri dimakamkan di tepi Situ Sangiang, makamnya diketemukan pada hari Senin, 22 Rajab 1424 H. atau bertepatan dengan 22 September 2003 oleh penulis. Kuburan beliau terletak diluar bangunan utama tempat penjiarahan, persisnya di bawah rindangnya pepohonan besar ditandai dengan sebatang pohon rotan[10]. Sesuai saran beliau, kuburannya ditandai tiga buah batu biasa sebagi batu nisan.[11]
Perang Talaga Pada Masa Pemerintahan Arya Kikis
Pada generasi kedua masa pemerintahan Islam Talaga, sepeninggal Ratu Parung, Talaga dipimpin oleh Arya Kikis (Sunan Wanaperih), putera kedua Ratu Parung pada tahun 1550 M. Arya Kikis adalah seorang Narpati dan da’i Islam yang handal. Beliau mewarisi ketaatan yang tulus, ilmu-ilmu kanuragan dan ilmu-ilmu keislaman dari Sunan Gunung Djati. Salah satu cucu beliau adalah Raja Muda Cianjur, Raden Aria Wiratanudatar atau yang dikenal dengan Dalem Cikundul.
Diawali dangan ikut campurnya Demak untuk menarik upeti dari Talaga melalui Cirebon, sedangkan kondisi rakyat Kerajaan Talaga yang sangat memerlukan perhatian pemerintah (lagi susah), akhirnya permintaan Cirebon dan Demak untuk menarik upeti dari Talaga “ditolak”. Selanjutnya, dengan tiba-tiba saja pasukan Cirebon yang dibantu Demak menyerang Talaga. Dengan demikian terjadilah peperangan hebat antara Pasukan Talaga yang dipimpin langsung oleh Senopati Arya Kikis melawan pasukan penyerobot dari Cirebon dan Demak.
Di medan laga sekalipun prajurit-prajurit Kerajaan Talaga yang dibantu ketat oleh puragabaya serta pendekar-pendekar dari padepokan-padepokan dan pesantren-pesantren Islam itu jumlah pasukan dan senjatanya lebih kecil dibanding jumlah serta kekuatan para aggresor, akan tetapi pasukan Talaga dengan penuh semangat dan patriotisme tetap mengadakan perlawanan.
Dengan teriakan dan gaung Allahu Akbar, serentak pasukan Talaga dengan kecepatan dan kesigapan yang luar biasa menerjang lawannya dan terus menerus mengkikis habis para aggressor yang datang menyerang tanpa kesopanan dan tatakrama itu. Syukurlah bahwa akhirnya kekuatan para penyerobot itu dapat dilumpuhkan dan semua pasukan Cirebon dan Demak dapat diusir keluar dari wilayah Kerajaan Talaga.
Kesepakatan Keraton Ciburang
Karena peristiwa itu Kanjeng Sinuhun Susuhunan Cirebon, Syarif Hidayatullah serta merta datang ke Talaga dan disambut secara khidmat dan hormat oleh Pangeran Satyapati Arya Kikis, Senapati Kerajaan Talaga, Sang Sunan Wanaperih; tidak urung dengan mendapatkan penghormatan besar dari para prajurit, puragabaya, para pendekar dan rakyat kerajaan Talaga serta Galuh Singacala.
Sesuai dengan kesepakatan pada musyawarah di Keraton Ciburang yang diselenggarakan oleh para Raja dari Galuh beberapa waktu yang silam; yang menyatakan bila Kanjeng Waliyullah sendiri mengucapkan titahnya, mereka semua akan tumut kepada Kanjeng Sinuhun Cirebon, Syarif Hidayatullah.
Ternyata kesepakatan di Keraton Ciburang itu dengan takdir Allah terkabul juga. Pada saat itulah Kanjeng Sinuhun Cirebon bersabda; Bahwa peperangan itu sungguh ditakdirkan Allah; tetapi bukan merupakan perang agama, sebab di Jawadwipa hanya pernah ada satu perang agama, yaitu antara Demak dan Majapahit. Terjadinya perang Talaga hanya karena tindakan keliru pasukan Cirebon dan Demak.
Kemudian Susuhunan Cirebon, Syarif Hidayatullah mengijinkan kepada Pangeran Arya Kikis untuk bertafakur di kampungnya yaitu Leuweung Wana yang selanjutnya disebut Wanaperih, dengan hasrat untuk mendalami ajaran Agama Islam sedangkan kerajaan Talaga tetap berdiri secara mandiri, adapun kepemimpinannya diayomi oleh Kanjeng Waliyullah, Sunan Gunung Djati.
Sunan Wanaperih mempunyai enam orang anak, empat orang putera dan dua orang puteri. Mereka adalah:

  1. Dalem Kulanata Maja[12];
  2. Dalem Cageur Darma;
  3. Raden Apun Surawijaya;
  4. Ny. Ratu Radeya[13];
  5. Ny. Ratu Putri[14]; dan
  6. Dalem Waqngsagoparana[15].

Pemerintahan Raden Apun Surawijaya.
Raden Apun Surawijaya memerintah Talaga sepeninggal ayahanda beliau Arya Kikis pada tahun 1590. Beliau adalah seorang Narpati Talaga yang gagah rongkah sakti mandraguna, akan tetapi sangat mencintai dan dicintai para pembantu beliau dan bahkan dengan kegagahan dan wibawanya itu beliau ditakuti lawan. Makam beliau terdapat di Kampung Lemah Abang, Desa Cikeusal, Kecamatan Talaga-Majalengka.
Raden Apun Surawijaya, Sunan Kidul mempunyai empat orang putera yaitu:

  1. Dalem Salawangi;
  2. Sunan Cibalagung (Cianjur);
  3. Pangeran Surawijaya (Sunan Ciburuy); dan
  4. Dalem Tuhu (Sunan Ciparanje.

Sebagaimana kita ketahui bahwa pada masa pemerintahan Raden Apun Surawijaya Kerajaan Talaga sudah dibawah kekuasaan Cirebon. Walaupun demikian Sang Narpati Talaga itu tetap setia dan patuh pada Kesepakatan Ciburang yang telah dibuat oleh para pembesar Talaga maupun Cirebon. Agama Islam dan perasaan “saakar jeung sakaruhun” telah merekatkan tali persaudaraan dan tali kekeluargaan kedua negara tersebut. Memang ada kata-kata leluhur yang mengatakan: “Ari numoro (nyangkalak) rampog-mah Talaga, nanging ari congcotnya bagian Cirebon”. Demikian ini mungkin diucapkan untuk menyatakan adanya ketidak adilan yang muncul, dan itulah nampaknya yang menyebabkan Perang Talaga berlangsung.
Sebagai seorang penguasa yang dicintai dan mencintai rakyatnya, Raden Apun Surawijaya telah berhasil meningkatkan tingkat kesejahteraan para petani. Pada masa beliau berbagai bendungan irigasi (dam) dibangun, beliau sangat memperhatikan kebutuhan-kebutuhan rakyat, khususnya dalam pemanfaatan sumber daya alam.

Pemerintahan Raden Arya Adipati Surawijaya.

Raden Arya Adipati Surawijaya (Sunan Ciburuy), putera ketiga Raden Apun Surawijaya menjadi raja menggantikan ayahnda beliau pada tahun 1635 M. Beliau menikahi Ratu Kartaningrat, adik Sultan Panembahan Kasepuhan Cirebon. Raden Arya Adipati Surawijaya dalam melaksanakan tugas pemerintahannya didampingi Sang Patih, Aria Paningsingan, seorang senapati yang gagah dan berani.
Dari hasil pernikahan antara Raden Arya Adipati Surawijaya dengan Ratu Kartaningrat beliau dikaruniai Allah SWT lima orang putera dan satu orang puteri, yakni:
    1. Pangeran Adipati Suwarga;
    2. Pangeran Jayawiriya;
    3. Pangeran Kusumayuda;
    4. Dalem Tuhu (Sunan Ciparanje, Subang);
    5. …………………..(tidak diketahui namanya); dan
    6. Ratu Puteri Tilanagara.

Pemerintahan Raden Adipati Suwarga
Selanjutnya yang memerintah Talaga adalah putera cikal Raden Arya Adipati Surawijaya yang bernama Pangeran Adipati Suwarga, beliau naik tahta tahun 1675 M. Pangeran Adipati Suwarga menikahi dua orang isteri, yaitu:
    1. Ratu Losari Cirebon; dan
    2. Nyi Mas Jitra dari Nunuk (Cengal).
Dari pernikahan Pangeran Adipati Suwarga dengan Ratu Losari dikaruniai putera yang bernama Pangeran Aria Sacadilaga, sedangkan dari penikahan beliau dengan Nyi Mas Jitra dikaruniai putera yang bernama Pangeran Adipati Wiranata.

Talaga Terpecah Menjadi Dua Kerajaan

Ketika Pangeran Adipati Wiranata mau dinobatkan sebagai Narpati Talaga tahun 1715 M muncul protes dari putera Pangeran Kusumayuda yang bernama Pangeran Natadilaga. Beliau merasa berhak untuk menjadi Narpati Talaga. Melihat kondisi demikian, para sesepuh Talaga segera mengadakan musyawarah dengan keputusan bahwa Talaga harus dibagi dua, yakni menjadi dua kesultanan:
    1. Kesultanan Talagakidul, yang dipimpin oleh Adipati Wiranata; dan
    2. Kesultanan Talagakaler, yang dipimpin oleh Pangeran Natadilaga.
Ketika itu pula disepakati bahwa Talaga dibagi menjadi empat sudut mata angin Kabupatian yang meliputi:

  1. Kebupatian Talagakidul; dipimpin oleh Pangeran Adipati Sacanata, putera ke-3 Pangeran Adipati Wiranata;
  2. Kebupatian Talagakaler; dipimpin oleh Pangeran Arya Sacadilaga, putu Pangeran Arya Natadilaga;
  3. Kabupatian Talagawetan; dipimpin oleh Pangeran Kartanagara, putera ke-4 Pangeran Adipati Wiranata; dan
  4. Kabupatian Talagakulon; dipimpin oleh Dalem Surya Sepuh, putu Pangeran Adipati Jayawiriya.

Keempat bupati dari empat Kabupatian Talaga ketika itu mendapat julukan Pangeran Papat, karena dalam satu masa yang bersama-sama mengurus Negara Talaga.

Masuknya Dajjal (Kaum Penjajah) dari Erofa di Talaga
Seiring masa berlalu munculah “munding-munding bule” di bumi pertiwi, yakni dimulai dengan datangnya perjajah Portugis, Spanyol, dan akhirnya Belanda (VOC). Dengan politik Devide et impera atau politik pecah belah, pada umumnya mereka berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan di tanah air, tidak terkecuali Talaga.
Pada tahun 1806 M Belanda menjadikan empat Kabupatian Talaga menjadi satu kabupatian dengan bupatinya Pangeran Arya Sacanata II. Tiga tahun kemudian, yakni tahun 1818 M Kabupatian Talaga digabung dengan Kabupatian Sindangkasih menjadi Kabupaten Majalengka yang kita kenal sekarang.
Sesuai dengan rencana licik VOC bahwa sebagai konsekuensi digabungnya dua kabupaten itu mengharuskan Bupati pindah dari Talaga ke Majalengka. Pangeran Sacanata II sebagai Bupati Majalengka ketika itu menolak untuk meninggalkan Talaga dan akhirnya dipensiunkan oleh Belanda (VOC) dengan hak jasa pensiun sebidang tanah sawah lima puluh bahu. Dengan demikian Pangeran Sacanata II (Eyang Regasari) mendapat julukan Bopati Panungtung Talaga.

Sebutan “Bopati Talaga” Menjadi “Sesepuh Talaga”

Karena dari rundayan Talaga pasca penggabungan antara Kabupatian Talaga dan Sindangkasih itu tidak ada yang memegang kekuasaan secara politik, maka para sesepuh Talaga bermusyawarah untuk menentukan orang yang akan memegang dan mengurus benda-benda pusaka karuhun Talaga. Ketika itu disepakati bahwa yang berhak mengurus benda-benda itu adalah keturunan yang mempunyai hubungan langsung dari Pangeran Sacanata II dari pihak anak laki-laki, jika anak laki-laki tidak ada maka pihak perempuan pun diperbolehkan asal jika mempunyai anak laki-laki maka pengurusan benda pusaka harus kembali dipegang pihak laki-laki.
Beriku ini adalah orang-orang yang mendapat tugas mengurus benda-benda Pusaka Karuhun Talaga, yang selanjutnya mereka disebut para Sesepuh Talaga:

  1. Pangeran Sumanagara (1820-1840 M), putera sulung Pangeran Arya Sacanata II;
  2. Nyi Raden Anggrek (1840 – 1865 M), puteri Pangeran Sumanagara;
  3. Raden Natakusumah (1865 – 1895 M), putera Nyi Raden Anggrek;
  4. Raden Natadiputra (1895 – 1925 M), putera Raden Natakusumah;
  5. Nyi Raden Masri’ah (1925 – 1948 M), puteri Raden Natadiputra;
  6. Raden Acap Kartadilaga (1948 – 1970 M), suami Nyi Raden Masri’ah;
  7. Nyi Raden Mardiyah (1970 – 1993 M), puteri Daden Acap kartadilaga;
  8. Raden Oo Mohammad Syamsuddin (1993 – 2001 M), putera Nyi Raden Mardiyah; dan
  9. Raden Abung Syihabuddin (2001 – sekarang), putera Raden Oo Mohammad Syamsuddin.

Islam di Talaga Berkebang Secara Damai
Agama Islam di wilayah Kerajaan Talaga berkembang pesat berkat kerja keras dan suri tauladan yang indah dan cinta damai dari para da’i Islam yang didukung toleransi penuh dari para penguasa Hindu Kahiyangan baik yang menguasai Talaga, Galuh, maupun Pakuan Pajajaran. Bayangkan jika tidak ada toleransi dari para penguasa Hindu yang ada di tanah Pasundan, mungkin sekali penyebaran Islam di Talaga khususnya dan Tanah Pasundan umunya akan dipenuhi dengan cucuran darah dan pertumpahan darah.
Insya Allah, kemakmuran dan kedamaian Talaga akan senantiasa tercipta manakala segenap penduduknya senantiasa mensyukuri nikmat-nikmat Allah, saling mengasihi dan menyayangi, mengembangkan budaya toleransi dan menjauhi budaya kekerasan. Kita harus senantiasa ingat bahwa budaya kekerasan Wahabiyah, melalui gerakan DI TII yang sempat mengoyak-oyak sebagian wilayah Talaga tidak terulang lagi.
Amin dan Alhamdulillahirabbil ‘alamiin…..

Penulis:
Muhammad Hajaruddin Al-Maja’iy
Ki Waras Jagat Pakuan
___________________________________________________________

[1] Letak kuburan Raden Raga Mantri, cucu Bagawan Garasiang dan Raden Pamanah Rasa terletak di luar bangunan yang biasa dipakai tahlilan para penziarah, di bawah pohon besar dengan tiga buah batu biasa sebagai batu nisannya, sesuai pesan spiritual beliau. Peletakan batu nisan penulis lakukan dibantu oleh kuncen situs, Bapak H. Emod dan sahabat penulis Suharto.
[2] Kata Siliwangi berasal dari kata Silih yang berarti pengganti atau penerus dan Wangi yang berarti wangi atau harum. Dengan demikian, makna dari nama Prabu Siliwangi mempunyai pengertian bahwa beliau adalah Pengganti atau Penerus Prabu Wangi (Wangisutah) yang gugur di alun-alun Bubat Majapahit (sekarang terletak di Kec.Trowulan Kab.Mojokerto) pada tahun 1357 M dalam mempertahankan kehormatan dan wibawa Kerajaan Pajajaran. Ketika itu, rombongan dari Pajajaran bermaksud untuk mengawinkan puteri beliau Putri Diyah Pitaloka dengan Raja Hayam Wuruk atas pinangan Sang Raja. Ketika itu rombongan calon penganten perempuan berhenti dan membuat pasangrahan di alun-alun Bubat sambil menunggu jemputan Raja Hayam Wuruk (calon penganten laki-laki). Rupanya niat mulia Prabu Wangi (Wangisutah) dan Raja Hayam Wuruk tidak dikehendaki oleh Patih Gajah Mada, ia mengadakan “gerakan rahasia” yang tidak diketahui oleh rajanya sendiri. Gajah Mada dengan pasukannya yang sangat besar mengepung dan menyerbu rombongan calon pengantin perempuan sehingga menyebabkan gugurnya Sang Mokteng Bubat (Prabu Wangi), Putri Diyah Pitaloka dan para pengawalnya. Adapun sebutan Prabu Siliwangi I adalah Prabu Wastu Kencana yang memindahkan pusat Kerajaan Pajajaran dari Kawali (Ciamis) ke Pakuan (Bogor). Pada masa pemerintahan Prabu Wangi, Prabu Siliwangi I dan Prabu Siliwangi II Kerajaan Pajajaran dibawah satu kekuasaan atau dalam kata lain Pasundan Timur dan Pasundan Barat bersatu di bawah satu Raja. Pasca Rahiyang Wastu Kencana, Kerajaan Pasundan terbagi dua; yakni Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Ciamis dibawah kekuasaan Ningrat Kancana dan Kerajaan Pakuan yang berpusat di Bogor di bawah kekuasaan Prabu Susuktunggal. Pada masa Prabu Siliwangi II itulah Pasundan bersatu lagi menjadi Pakuan Pajajaran yang berpusat di Bogor.
[3] Menurut Babad Talaga, setelah peristiwa pembunuhan itu Prabu Talagamanggung beserta keratonnya ngahiyang (menghilang) dan menjadi Situ Sangiang sekarang. Menurut penulis sendiri, arti “ngahyiang” itu tidak lain melainkan Inna lillahi râjiûn wa inna ilahi râjiûn dalam arti Kembali Ke Sang Hiyang (Tuhan) dan bukan tilem.
[4] Gunung Bitung tepatnya sebelah selatan Talaga, Desa Wangkelang, Kecamatan Cikijing, Kabupaten Majelangka. Tempat pertapaan Raden Panglurah sampai sekarang sering diziarahi orang.
[5] Penulis merasa prihatin karena Patung Raden Panglurah hingga sekarang masih berada di negeri Belanda, adapaun patung adik beliau Bunda Raden Dewi Simbarkancana masih ada dan terawat baik di Talaga.
[6] Istilah ceurik balilihan dan makna beberapa kata berikutnya adalah dari Bunda Dewi Simbarkancana sendiri, diberitahukan beliau kepada penulis secara spriritual pada tanggal 28 Januari 2008, kira-kira pukul 20.45 WIB.
[7] Petilasannya masih terdapat di Desa Cengal, kira-kira 1 km Kampung Cadas, Desa Anggrawati, Kecamatan Maja-Majalengka.
[8] Petilasannya terdapat di Blok Galumpit (Tegal Cawet) Desa Tegalsari-Maja.
[9] Angka 7 tahun 3 bulan ini berdasarkan keterangan Bunda Ratu Simbarkancana, pada tanggal 27 Januari 2008 yang disampaikan secara spiritual kepada penulis.
[10] Tadinya penulis tidak menyangka bahwa di atas kuburan beliau betul-betul hanya ada satu pohon rotan (ketika itu sudah pugur dengan satu lembar daun) sesuai dengan tanda-tanda yang disebutkan dalam Babad Talaga, Subhanallah.
[11] Penemuan letak makam Raden Ragamantri telah dicek dan diakui kebenarannya oleh Kang Yuyun, Spiritualis Talaga beberapa waktu setelah penulis memohon beliau untuk mencek kebenaran apa yang telah disampaikan Eyang Ragamntri kepada penulis secara spiritual itu.
[12] Beberapa tahun yang lalu, Dalem Kulanata memberitahu kepada Kakanda Penulis, Mahfuddin melalui mimpi agar makam beliau yang terletak di pemakaman umum Maja Selatan diperbiki. Hal ini sudah diberitahukan kepada kuncen pekuburan.
[13] Dinikahi oleh Ariya Paningsingan
[14] Dinikahi oleh Syekh Sayyid Pamijahan
[15] Menurunkan para penguasa di Sagalaherang Subang dan Cianjur.

October 17, 2009 Posted by | 1 | Leave a comment

Babad Panjalu

 Sasakala I

punika babad panjalu

kang kasebat ing karantenan gunung sawal

ratu tesnajati puputra batara layah

dikersakeun ku batara layah

dikersakeun nurunkeun ti sawargaloka denamaan putih

ari istri nu menthol putih

tibane ing gunung sawal

nu linggih ing gunung sawal namane anta putih

sawusing linggih ing gunung sawal

tinurunan malih ing sawargaloka

babaktone bumi sagodong waru

mangka ngahenyon jagad

nuli nyipta gunung merapi

nuli mireng mangetan

nyipta malih ti kilen gunung agung

man

Sasakala II

punika babad panjalu

kang tedak saking gunung bitung
turuning cahaya saking sawarga

tumiba ing gunung bitung

den tanggapi dening batara sanga ora kena

mangka nuli nerus bumi ping pitu

nuli den tanggapi dening batara nagaraja

mangka nuli kena

cahaya punika dadi an tiga warna

mangka nuli den angremi

nuli megar dadi tiyang tiga

mangka nuli nerus bumi

kersane ajeng medal ing pameungpeuk

nanging boten sida medal margi kapepetan kalipan sela

nuli malebet angling malih

nuli sida medal ing marongpong

nuli amiraos tiyang titiga waho

pareng sasampene nuli ngalebet dateng

leng malih sareng pamedale andumparan
wawadahe medal ing cipanjalu

kekasihe sang ratu permanadewi
puputihe medal ing talaga

kekasihe ratu ponggang sangrumanghiang
kukuninge medal ing kuningan

kekasihe bleg nambleg raja gulingan

Sasakala III

Alkisah tersebutlah di Kerajaan Galuh memerintah Ratu Galuh Pamekas.

Ia kemudian menyerahkan singgasana kerajaannya kepada seorang panakawannya yang kemudian bertahta menjadi Raja Galuh bergelar Ratu Bondan.

Sementara itu Ratu Galuh yang sejati pergi menyepi di rimba belantara menjadi Resi di Gunung Padang dengan nama Ki Ajar Sukaresi.

Semenjak itu maka yang dikerjakan oleh Ki Ajar Sukaresi hanyalah menyepi dan bertapa di kerimbunan hutan Gunung Padang.

Lama-kelamaan akibat dari ta

 Silsilah Panjalu

 Batara Tesnajati

Batara Tesnajati adalah tokoh pendiri Kabataraan Gunung Sawal, ia mempunyai seorang putera bernama Batara Layah. Petilasan Batara Tesnajati terdapat di Karantenan Gunung Sawal.

Batara Layah

Batara Layah menggantikan ayahnya sebagai Batara di Karantenan Gunung Sawal Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Batara Karimun Putih.

Batara Karimun Putih

Ia menggantikan ayahnya menjadi Batara di Gunung Sawal Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Prabu Sanghyang Rangga Gumilang atau Sanghyang Rangga Sakti. Petilasan Batara Karimun Putih terletak di Pasir Kaputihan Gunung Sawal.

 Prabu Sanghyang Rangga Gumilang

Prabu Sanghyang Rangga Gumilang naik tahta sebagai Raja Panjalu, sejak saat itu periode kebataraan di Panjalu berakhir. Ia membangun kaprabon di Dayeuhluhur, Maparah dan menikahi seorang puteri dari Galuh bernama Ratu Permanadewi, dari pernikahannya itu sang Prabu mempunyai seorang putera bernama Sanghyang Rangga Lembu Sampulur I. Sanghyang Rangga Gumilang terletak di Cipanjalu.

 Prabu Sanghyang Lembu Sampulur I

Sanghyang Lembu Sampulur I naik tahta sebagai Raja Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Sanghyang Cakradewa.

 Prabu Sanghyang Cakradewa

Sanghyang Cakradewa memperisteri seorang puteri Galuh bernama Ratu Sari Kidang Pananjung dan mempunyai enam orang anak yaitu: 1) Sanghyang Lembu Sampulur II, 2) Sanghyang Borosngora, 3) Sanghyang Panji Barani, 4) Sanghyang Anggarunting, 5) Ratu Mamprang Kancana, dan 6) Ratu Pundut Agung (diperisteri Maharaja Sunda). Petilasan Prabu Sanghyang Cakradewa taerdapat di Cipanjalu.

Menurut kisah dalam Babad Panjalu, Prabu Sanghyang Cakradewa adalah seorang raja yang adil dan bijaksana, di bawah pimpinannya Panjalu menjadi sebuah kerajaan yang makmur dan disegani. Suatu ketika sang raja menyampaikan keinginannya di hari tua nanti untuk meninggalkan singgasana dan menjadi Resi atau petapa (lengser kaprabon ngadeg pendita). Untuk itu sang prabu mengangkat putera tertuanya Sanghyang Lembu Sampulur II menjadi putera mahkota, sedangkan putera keduanya yaitu Sanghyang Borosngora dipersiapkan untuk menjadi Patih dan Senapati Kerajaan (panglima perang). Oleh karena itu Sanghyang Borosngora pergi berkelana, berguru kepada para brahmana, petapa dan wiku sakti di seluruh penjuru tanah Jawa untuk mendapatkan berbagai ilmu kesaktian dan ilmu olah perang.

Beberapa tahun kemudian sang pangeran pulang dari pengembaraannya dan disambut dengan upacara penyambutan yang sangat meriah di kaprabon Dayeuhluhur, Prabu Sanghyang Cakradewa sangat terharu menyambut kedatangan puteranya yang telah pergi sekian lama tersebut. Dalam suatu acara, sang prabu meminta kepada Sanghyang Borosngora untuk mengatraksikan kehebatannya dalam olah perang dengan bermain adu pedang melawan Sanghyang Lembu Sampulur II dihadapan para pejabat istana dan para hadirin. Ketika kedua pangeran itu tengah mengadu kehebatan ilmu pedang itu, tak sengaja kain yang menutupi betis Sanghyang Borosngora tersingkap dan tampaklah sebentuk rajah (tatto) yang menandakan pemiliknya menganut ilmu kesaktian aliran hitam.

Prabu Sanghyang Cakradewa sangat kecewa mendapati kenyataan tersebut, karena ilmu itu tidak sesuai dengan Anggon-anggon Kapanjaluan (falsafah hidup orang Panjalu) yaitu mangan kerana halal, pake kerana suci, tekad-ucap-lampah sabhenere dan Panjalu tunggul rahayu, tangkal waluya. Sang Prabu segera memerintahkan Sanghyang Borosngora untuk membuang ilmu terlarang itu dan segera mencari “Ilmu Sajati” yaitu ilmu yang benar, ilmu yang suci, ilmu yang lurus, ilmu yang menuntun kepada jalan keselamatan. Sebagai indikator apakah Sanghyang Borosngora telah menguasai ilmu sajati atau belum, maka sang prabu membekalinya sebuah gayung batok kelapa yang dasarnya diberi lubang-lubang sehingga tidak bisa menampung cidukan air. Apabila sang pangeran telah menguasai ilmu sajati, maka ia bisa menciduk air dengan gayung berlubang-lubang tersebut.

Untuk kedua kalinya Sanghyang Borosngora pergi meninggalkan kaprabon, dan kali ini ia berjalan tak tentu arah karena tidak tahu kemana harus mencari ilmu yang dimaksudkan oleh ayahnya itu. Letih berjalan tak tentu arah akhirnya ia duduk bersemadi, mengheningkan cipta, memohon kepada Sanghyang Tunggal agar diberikan petunjuk untuk mendapatkan Ilmu Sajati. Sekian lama bersemadi akhirnya ia mendapat petunjuk bahwa pemilik ilmu yang dicarinya itu ada di seberang lautan, yaitu di tanah suci Mekah, Jazirah Arab. Dengan ilmu kesaktiannya Sanghyang Borosngora tiba di Mekah dalam sekejap mata.

Di Mekah itu Sanghyang Borosngora bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya agar dapat bertemu dengan seseorang yang mewarisi Ilmu Sajati yang dimaksud. Orang-orang yang tidak mengerti maksud sang pangeran menunjukkan agar ia menemui seorang pria yang tinggal dalam sebuah tenda di gurun pasir. Sanghyang Borosngora bergegas menuju tenda yang dimaksud dan ketika ia membuka tabir tenda itu dilihatnya seorang pria tua yang sedang menulis dengan pena. Karena terkejut dengan kedatangan tamunya, pena yang ada di tangan pria tua itu terjatuh menancap di tanah berpasir.

Lelaki misterius itu menegur sang pangeran karena telah datang tanpa mengucapkan salam sehingga mengejutkannya, setelah bertanya apa keperluannya datang ke tendanya, lelaki itu hanya meminta Sanghyang Borosngora agar mengambilkan penanya yang menancap di tanah. Sang pangeran segera memenuhi permintaan pria itu, tetapi terjadi kejanggalan, pena yang menancap di tanah itu seperti sudah menyatu dengan bumi sehingga walaupun segenap kekuatannya telah dikerahkan, namum pena itu tak bergeming barang sedikitpun. Sanghyang Borosngora segera menyadari bahwa orang yang ada di hadapannya buakanlah orang sembarangan. Sebagai seorang kesatria ia mengakui kehebatan pria itu dan memohon ampun atas kelancangan sikapnya tadi. Sang pangeran juga memohon kesediaan pria misterius itu mengajarinya ilmu yang sangat mengagumkannya ini. Lelaki yang kemudian diketahui adalah Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A.*) ini hanya meminta Sanghyang Borosngora mengucapkan kalimat syahadat seperti yang dicontohkannya dan sungguh ajaib, pena yang menancap di tanah itu bisa dicabut dengan mudah olehnya.

Setelah peristiwa itu Sanghyang Borosngora menetap beberapa lama di Mekah untuk menimba Ilmu Sajati kepada Baginda Ali R.A. yang ternyata adalah Dien Al Islam. Di akhir masa pendidikannya Sanghyang Borosngora diberi wasiat oleh Baginda Ali agar melaksanakan syiar Islam di tanah asalnya. Sanghyang Borosngora yang sekarang bernama Syeikh Haji Abdul Iman ini kemudian diberi cinderamata berupa Pedang, Cis (tongkat), pakaian kebesaran. Sebelum pulang Syeikh Haji Abdul Iman juga menciduk air zam-zam dengan gayung berlubang pemberian ayahnya dan ternyata air zam-zam itu tidak menetes yang berarti ia telah berhasil menguasai ilmu sajati dengan sempurna.

Ringkas cerita Sanghyang Borosngora kembali ke kaprabon dan disambut dengan suka cita oleh sang prabu beserta seluruh kerabatnya. Sanghyang Borosngora juga menyampaikan syiar Islam kepada seluruh kerabat istana. Sang Prabu yang telah uzur menolak dengan halus ajakan puteranya itu dan memilih hidup sebagai pendeta sebagaimana kehendaknya dahulu dan menyerahkan singgasana kepada putera mahkota Sanghyang Lembu Sampulur II. Air zam-zam yang dibawanya dijadikan cikal bakal air Situ Lengkong yang sebelumnya merupakan sebuah lembah yang mengelilingi bukit bernama Pasir Jambu. Gayung berlubang pemberian ayahnya dilemparkan ke Gunung Sawal dan kemudian menjadi sejenis tanaman paku yang bentuknya seperti gayung. Sanghyang Borosngora melanjutkan syiar Islamnya dengan mengembara ke arah barat melewati daerah-daerah yang sekarang bernama Tasikmalaya, Garut, Bandung, Cianjur dan Sukabumi.

Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II tidak lama memerintah di Kerajaan Panjalu, ia kemudian hijrah ke daerah Cimalaka di kaki Gunung Tampomas, Sumedang dan mendirikan kerajaan baru di sana. Sanghyang Borosngora yang menempati urutan kedua sebagai pewaris tahta Panjalu meneruskan kepemimpinan kakaknya itu dan menjadikan Panjalu sebagai kerajaan Islam yang sebelumnya bercorak Hindu.

Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II

Sanghyang Lembu Sampulur II naik tahta menggantikan Prabu Sanghyang Cakradewa, akan tetapi ia kemudian hijrah dan mendirikan kerajaan baru di Cimalaka Gunung Tampomas (Sumedang).

 Prabu Sanghyang Borosngora

Sanghyang Borosngora naik tahta Panjalu menggantikan posisi kakaknya, ia kemudian membangun keraton baru di Nusa Larang. Adiknya yang bernama Sanghyang Panji Barani diangkat menjadi Patih Panjalu. Di dalam Babad Panjalu tokoh Prabu Sanghyang Borosngora ini dikenal sebagai penyebar Agama Islam dan Raja Panjalu pertama yang menganut Islam, benda-benda pusaka peninggalannya masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit dan dikirabkan pada setiap bulan Maulud setelah terlebih dulu disucikan dalam rangkaian prosesi acara adat Nyangku. Sanghyang Borosngora mempunyai dua orang putera yaitu: 1) Rahyang Kuning dan 2) Rahyang Kancana. Prabu Sanghyang Borosngora juga didamping oleh Guru Aji Kampuhjaya dan Bunisakti, dua orang ulama kerajaan yang juga merupakan senapati-senapati pilih tanding. Petilasan Prabu Sanghyang Borosngora terdapat di Jampang Manggung (Sukabumi), sedangkan petilasan Sanghyang Panji Barani terdapat di Cibarani (Banten).

Prabu Rahyang Kuning

Hariang Kuning menggantikan Borosngora menjadi Raja Panjalu, akibat kesalahpahaman dengan adiknya yang bernama Rahyang Kancana sempat terjadi perseteruan yang akhirnya dapat didamaikan oleh Guru Aji Kampuh Jaya dari Cilimus. Rahyang Kuning kemudian mengundurkan diri dan menyerahkan tahta Panjalu kepada Rahyang Kancana.

Rahyang Kuning di akhir hayatnya menjadi Raja di Kawasen (Ciamis Selatan), jasadnya dibawa pulang ke Panjalu dan dimakamkan di Kapunduhan Cibungur, Desa Kertamandala, Kecamatan Panjalu.

 Prabu Rahyang Kuluk Kukunangteko

Rahyang Kuluk Kukunangteko menggantikan Rahyang Kancana menduduki tahta Panjalu, ia didampingi oleh adiknya yang bernama Rahyang Ageung sebagai Patih Panjalu. Sang Prabu mempunyai seorang putera bernama Rahyang Kanjut Kadali Kancana.

Pusara Rahyang Kuluk Kukunangteko terletak di Cilanglung, Simpar, Panjalu.

 Prabu Rahyang Kanjut Kadali Kancana

Rahyang Kanjut Kadali Kancana menggantikan ayahnya sebagai Raja Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Rahyang Kadacayut Martabaya. Rahyang Kanjut Kadali Kancana setelah mangkat dipusarakan di Sareupeun Hujungtiwu, Panjalu.

 Prabu Rahyang Kadacayut Martabaya

Rahyang Kadacayut Martabaya naik tahta menggantikan ayahnya, ia mempunyai seorang anak bernama Rahyang Kunang Natabaya.

Rahyang Kadacayut Martabaya jasadnya dipusarakan di Hujungwinangun, Situ Lengkong Panjalu.

 Prabu Rahyang Kunang Natabaya

Rahyang Kunang Natabaya menduduki tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia menikah dengan Nyai Apun Emas. Nyai Apun Emas adalah anak dari Nyai Tanduran di Anjung yang menikah dengan Prabu di Galuh Cipta Permana (15951608), jadi Apun Emas adalah saudari dari Adipati Panaekan (1608-1625). Sementara Nyai Tanduran di Anjung adalah puteri Maharaja Kawali.

Dari perkawinannya dengan Nyai Apun Emas, Prabu Rahyang Kunang Natabaya mempunyai tiga orang putera yaitu : 1) Raden Arya Sumalah, 2) Raden Arya Sacanata, dan Raden Arya Dipanata. Pada masa kekuasaan Prabu Hariang Kunang Natabaya ini, Panembahan Senopati (15861601) berhasil menaklukkan Cirebon beserta daerah-daerah bawahannya termasuk Panjalu.

Pusara Prabu Rahyang Kunang Natabaya terletak di Ciramping, Desa Simpar, Panjalu.

Raden Arya Sumalah

Arya Sumalah naik tahta Panjalu bukan sebagai Raja, tapi sebagai Bupati di bawah kekuasaan Mataram. Ia menikah dengan Ratu Tilarnagara puteri dari Bupati Talaga yang bernama Sunan Ciburuy atau yang dikenal juga dengan nama Pangeran Surawijaya, dari pernikahannya itu Arya Sumalah mempunyai dua orang anak, yaitu: 1) Ratu Latibrangsari dan 2) Raden Arya Wirabaya.

Arya Sumalah setelah wafat dimakamkan di Buninagara Simpar, Panjalu.

Arya Sacanata atau Pangeran Arya Salingsingan

Raden Arya Sumalah wafat dalam usia muda dan meninggalkan putera-puterinya yang masih kecil. Untuk mengisi kekosongan kekuasaan di Kabupaten Panjalu Raden Arya Sacanata diangkat oleh Sultan Agung (1613-1645) sebagai Bupati menggantikan kakaknya dengan gelar Pangeran Arya Sacanata.

Pangeran Arya Sacanata juga memperisteri Ratu Tilarnagara puteri Bupati Talaga Sunan Ciburuy yang merupakan janda Arya Sumalah. Pangeran Arya Sacanata mempunyai banyak keturunan, baik dari garwa padminya yaitu Ratu Tilarnagara maupun dari isteri-isteri selirnya (ada sekitar 20 orang anak), anak-anaknya itu dikemudian hari menjadi pembesar-pembesar di tanah Pasundan.

Dua belas diantara putera-puteri Pangeran Arya Sacanata itu adalah: 1) Raden Jiwakrama (Cianjur), 2) Raden Ngabehi Suramanggala, 3) Raden Wiralaksana (Tengger, Panjalu), 4) Raden Jayawicitra (Pamekaran, Panjalu), 5) Raden Dalem Singalaksana (Cianjur), 6) Raden Dalem Jiwanagara (Bogor), 7) Raden Arya Wiradipa (Maparah, Panjalu), 8) Nyi Raden Lenggang, 9) Nyi Raden Tilar Kancana, 10) Nyi Raden Sariwulan (Gandasoli, Sukabumi), 11) Raden Yudaperdawa (Gandasoli, Sukabumi), dan 12) Raden Ngabehi Dipanata.

Putera Sultan Agung, Sunan Amangkurat I pada tahun 1656-1657 secara sepihak mencopot jabatan Pangeran Arya Sacanata sebagai Bupati Panjalu yang diangkat oleh Sultan Agung serta menghapuskan Kabupaten Panjalu dengan membagi wilayah Priangan menjadi 12 Ajeg; salah satunya adalah Ajeg Wirabaya yang meliputi wilayah Ciamis Utara meliputi Panjalu, Utama dan Bojonglopang serta dikepalai oleh keponakan sekaligus anak tirinya yaitu Raden Arya Wirabaya sehingga membuat Pangeran Arya Sacanata mendendam kepada Mataram.

Suatu ketika Pangeran Arya Sacanata ditunjuk oleh mertuanya yang juga Bupati Talaga Sunan Ciburuy untuk mewakili Talaga mengirim seba (upeti) ke Mataram. Pada kesempatan itu Pangeran Arya Sacanata menyelinap ke peraduan Sinuhun Mataram dan mempermalukanya dengan memotong sebelah kumisnya sehingga menimbulkan kegemparan besar di Mataram. Segera saja Pangeran Arya Sacanata menjadi buruan pasukan Mataram, namun hingga akhir hayatnya Pangeran Arya Sacanata tidak pernah berhasil ditangkap oleh pasukan Mataram sehingga ia mendapat julukan Pangeran Arya Salingsingan (dalam Bahasa Sunda kata “salingsingan” berarti saling berpapasan tapi tidak dikenali).

Pangeran Arya Sacanata menghabiskan hari tuanya dengan meninggalkan kehidupan keduniawian dan memilih hidup seperti petapa mengasingkan diri di tempat-tempat sunyi di sepanjang hutan pegunungan dan pesisir Galuh. Mula-mula ia mendirikan padepokan di Gandakerta sebagai tempatnya berkhalwat (menyepi), Sang Pangeran kemudian berkelana ke Palabuhan Ratu, Kandangwesi, Karang, Lakbok, kemudian menyepi di Gunung Sangkur, Gunung Babakan Siluman, Gunung Cariu, Kuta Tambaksari dan terakhir di Nombo, Dayeuhluhur. Pangeran Arya Sacanata wafat dan dipusarakan di Nombo, Kecamatan Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

 Raden Arya Wirabaya

Sewaktu Sunan Amangkurat I berkuasa (1645-1677) pada sekitar tahun 1656-1657 wilayah Mancanagara Kilen (Mataram Barat) dibagi menjadi dua belas Ajeg (daerah setingkat kabupaten) serta menghapuskan jabatan Wedana Bupati Priangan, keduabelas Ajeg itu adalah: Sumedang, Parakan Muncang (Bandung Timur), Bandung, Sukapura (Tasikmalaya), Karawang, Imbanagara (Ciamis), Kawasen (Ciamis Selatan), Wirabaya (Ciamis Utara termasuk Kabupaten Panjalu, Utama dan Bojonglopang), Sindangkasih, Banyumas, Ayah/Dayeuhluhur (Kebumen, Cilacap) dan Banjar (Ciamis Timur).

Pada waktu itulah Arya Wirabaya diangkat oleh Sunan Amangkurat I menjadi Kepala Ajeg Wirabaya sekaligus menggantikan Pangeran Arya Sacanata yang tidak lagi menjabat Bupati karena Kabupaten Panjalu telah dihapuskan dan dimasukkan kedalam Ajeg Wirabaya.

Arya Wirabaya mempunyai seorang putera yang bernama Raden Wirapraja, setelah wafat jasad Arya Wirabaya dimakamkan di Cilamping, Panjalu, Ciamis.

 Raden Tumenggung Wirapraja

Raden Wirapraja menggantikan ayahnya menjadi Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Wirapraja. Pada masa pemerintahannya kediaman bupati dipindahkan dari Dayeuh Nagasari ke Dayeuh Panjalu.

Tumenggung Wirapraja setelah mangkat dimakamkan di Kebon Alas Warudoyong, Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Ciamis.

 Raden Tumenggung Cakranagara I

Salah seorang putera Arya Sacanata yang bernama Arya Wiradipa memperisteri Nyi Mas Siti Zulaikha puteri Tandamui dari Cirebon, ia bersama kerabat dan para kawulabaladnya dari keraton Talaga mendirikan pemukiman yang sekarang menjadi Desa Maparah, Panjalu. Dari pernikahannya itu Arya Wiradipa mempunyai empat orang anak, yaitu: 1) Raden Ardinata, 2) Raden Cakradijaya, 3) Raden Prajasasana, dan 4) Nyi Raden Ratna Gapura.

Raden Prajasasana yang setelah dewasa dikenal juga dengan nama Raden Suragostika mengabdi sebagai pamong praja kepada Pangeran Arya Cirebon (1706-1723) yang menjabat sebagai Opzigter (Pemangku Wilayah) VOC untuk Wilayah Priangan dan karena kinerjanya yang baik, Raden Suragostika kemudian diangkat Pangeran Arya Cirebon menjadi Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara menggantikan Tumenggung Wirapraja.

 Raden Tumenggung Cakranagara II

Raden Cakranagara II menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara II, sedangkan adiknya yang bernama Raden Suradipraja diangkat menjadi Patih Panjalu dengan gelar Raden Demang Suradipraja.

Tumenggung Cakranagara II mempunyai enam belas orang anak dari garwa padmi dan isteri selirnya, keenambelas putera-puterinya itu adalah: 1) Nyi Raden Wijayapura, 2) Nyi Raden Natakapraja, 3) Nyi Raden Sacadinata, 4) Raden Cakradipraja, 5) Raden Ngabehi Angreh, 6) Raden Dalem Cakranagara III, 7) Nyi Raden Puraresmi, 8) Nyi Raden Adiratna, 9) Nyi Raden Rengganingrum, 10) Nyi Raden Janingrum, 11) Nyi Raden Widayaresmi, 12) Nyi Raden Murdaningsih, 13) Raden Demang Kertanata, 14) Raden Demang Argawijaya, 15) Nyi Raden Adipura, dan 16) Nyi Raden Siti Sarana.

Tumenggung Cakranagara II setelah wafat dimakamkan di Puspaligar, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis.

 Raden Tumenggung Cakranagara III

Raden Cakranagara III sebagai putera tertua dari garwa padmi (permaisuri) menggantikan posisi ayahnya sebagai Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara III.

Pada tahun 1819 ketika Pemerintah Hindia-Belanda dibawah pimpinan Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. Baron Van der Capellen (1816-1836) dikeluarkanlah kebijakan untuk menggabungkan Kabupaten Panjalu, Kawali, Cihaur dan Distrik Rancah kedalam Kabupaten Galuh. Berdasarkan hal itu maka Tumenggung Cakranagara III dipensiunkan dari jabatannya sebagai Bupati Panjalu dan sejak itu Panjalu menjadi kademangan (daerah setingkat wedana) di bawah Kabupaten Galuh.

Pada tahun itu Bupati Galuh Wiradikusumah digantikan oleh puteranya yang bernama Adipati Adikusumah (1819-1839), sedangkan di Panjalu pada saat yang bersamaan putera tertua Tumenggung Cakranagara III yang bernama Raden Sumawijaya diangkat menjadi Demang (Wedana) Panjalu dengan gelar Raden Demang Sumawijaya, sementara itu putera ketujuh Tumenggung Cakranagara III yang bernama Raden Cakradikusumah diangkat menjadi Wedana Kawali dengan gelar Raden Arya Cakradikusumah.

Tumenggung Cakranagara III mempunyai dua belas orang putera-puteri, yaitu:

  1. Raden Sumawijaya (Demang Panjalu),
  2. Raden Prajasasana Kyai Sakti (Nusa Larang, Panjalu),
  3. Raden Aldakanata,
  4. Raden Wiradipa,
  5. Nyi Raden Wijayaningrum,
  6. Raden Jibjakusumah,
  7. Raden Cakradikusumah (Wedana Kawali),
  8. Raden Cakradipraja,
  9. Raden Baka,
  10. Nyi Raden Kuraesin,
  11. Raden Raksadipraja (Kuwu Ciomas, Panjalu), dan
  12. Raden Prajadinata (Kuwu Maparah, Panjalu).

Tumenggung Cakranagara III wafat pada tahun 1853 dan dipusarakan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu berdekatan dengan pusara Prabu Rahyang Kancana putera Prabu Sanghyang Borosngora.

 Raden Demang Sumawijaya

Raden Sumawijaya pada tahun 1819 diangkat menjadi Demang Panjalu dengan gelar Raden Demang Sumawijaya. Adiknya yang bernama Raden Cakradikusumah pada waktu yang berdekatan juga diangkat menjadi Wedana Kawali dengan gelar Raden Arya Cakradikusumah. Demang Sumawijaya mempunyai tiga orang anak, yaitu: 1) Raden Aldakusumah, 2) Nyi Raden Asitaningsih, dan 3) Nyi Raden Sumaningsih.

Demang Sumawijaya setelah wafat dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu.

 Raden Demang Aldakusumah

Raden Aldakusumah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Demang Panjalu dengan gelar Raden Demang Aldakusumah, ia mempunyai empat orang anak, yaitu: 1) Raden Kertadipraja (Rumalega, Panjalu), 2) Nyi Raden Wijayaningsih, 3) Nyi Raden Kasrengga (Rumalega, Panjalu), dan 4) Nyi Raden Sukarsa Karamasasmita (Rumalega, Panjalu).

Semantara itu adik sepupunya yang bernama Raden Argakusumah (putera Wedana Kawali Raden Arya Cakradikusumah) diangkat menjadi Bupati Dermayu (sekarang Indramayu) dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara IV. Raden Demang Aldakusumah dan Raden Tumenggung Argakusumah (Cakranagara IV) setelah wafatnya dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu.

Putera tertua Demang Aldakusumah yang bernama Raden Kertadipraja tidak lagi menjadi Demang Panjalu karena Panjalu kemudian menjadi sebuah kecamatan di Kabupaten Galuh, sementara ia sendiri tidak bersedia diangkat menjadi Kuwu (Kepala Desa ) Panjalu. Pada tahun 1915 Kabupaten Galuh berganti nama menjadi Kabupaten Ciamis.

 Referensi

       Argadipraja, R. Duke. Babad Panjalu Galur Raja-raja Tatar Sunda. 1992. Mekar Rahayu. Bandung.

October 9, 2009 Posted by | 1 | 1 Comment

Abu Prabu Lingga buana di Astana Gede

September 16, 2009 Posted by | 1 | Leave a comment

Babak IX Tragedy Bubat

Peristiwa Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk untuk mempersunting putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit yang dilukis secara diam-diam oleh Sungging Prabangkara,seniman lukis pada masa itu.

Alasan ini hampir sama dengan yang dimuat di Buku Novel tentang Bubat. Dyah Pitaloka di gambar secara diam-diam atas perintah keluarga keraton, bertujuan untuk mengetahui paras Sang Putri.

Alasan yang mungkin dapat masuk akal dipaparkan oleh penulis sejarah Pajajaran, yakni Saleh Danasasmita dan penulis naskah Perang Bubat, yakni Yoseph Iskandar. Kedua akhli sejarah ini menyebutkan, bahwa niat pernikahan itu untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Urang Sunda masih merasa saudara dengan urang Majapahit,. Karena Raden Wijaya yang menjadi pendiri Majapahit,masih keturunan Sunda. Pernikahan demikian dianggap wajar dimasa lalu, sama seperti yang dilakukan raja-raja sebelumnya. Seperti hubungan Galuh dengan Kalingga dijaman Wretikandayun, yang menikahkan Mandiminyak, putranya dengan Parwati, Putri Ratu Sima (Lihat hubungan Sunda dengan Majapahit).

Niat Prabu Hayam Wuruk untuk memperistri Dyah Pitaloka telah direstui keluarga kerajaan majapahit, sehingga tak lagi ada masalah dengan status kedua kerajaan, kecuali untuk melangsungkan pernikahan. Selanjutnya Hayam Wuruk mengirim surat lamaran kepada Maharaja Linggabuana dan menawarkan agar upacara pernikahan dilakukan di Majapahit.

Tawaran Majapahit tentunya masih dipertimbangkan, terutama oleh Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati.Adik dari Prabhu linggabuana. Pertama, masalah lokasi atau tempat pernikahan.

Pada waktu itu adat di Nusantara menganggap tidak lazim jika pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki.

 Kedua, diduga alasan ini merupakan jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara. Namun Prabu Linggabuana hanya melihat adanya rasa persaudaraan dari garis leluhurnya, sehingga ia memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit.

Rombongan kerajaan Sunda kemudian berangkat ke Majapahit, dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.

Melihat Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit, maka timbul niat lain dari Mahapatih Gajah Mada yaitu untuk menguasai Kerajaan Sunda. Niat gajah Mada ini untuk memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya tersebut. Karena dari seluruh kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan hanya kerajaan sundalah yang belum dikuasai Majapahit. Dengan maksud tersebut dibuatlah alasan oleh Gajah Mada yang menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat sebagai bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit, sesuai dengan Sumpah Palapa yang pernah ia ucapkan pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta.

Rencana tersebut di sampaikan kepada Prabu Hayam Wuruk, Gajah Mada pun mendesaknya untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda. Selain diharapkan pula agar sunda mau mengakui mengakui superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri menurut Kidung Sundayana menjadi bimbang. Ia terjebak dalam dilema, antara cinta dan perlunya mentaati saran Gajah Mada. Disisi lain, Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.Terlebih Hayam wuruk paham benar kalau Kerajaan Sunda –Galuh adalah masih bertalian darah dengan nya.Tetapi di luar dugaan Prabhu Hayam wuruk gajah Mada yang menyambut kedatangan rombongan Prabhu Linggabuana wisesa berubah menjadi palagan berdarah di alun alun kotaraja wilwatika Majapahit.

Tragedi Palagan Bubat terjadi pada tahun 1357. Seperti dikisahkan dalam kitab Pararaton diantaranya :

Bre prabhu ayun ing putri ring Sunda. Patih Madu ingutus angundangeng wong Sunda

Terjemahannya adalah : Sri Prabu Hayam Wuruk ingin memperistri puteri dari Sunda. Patih Madu diutus mengundang orang Sunda.

Prabu Maharaja Linggabuana (Raja Sunda Ke 27) dengan permaisurinya Dewi Lara Linsing memiliki puteri cantik jelita yang diberi nama Dyah Pitaloka. Oleh kakeknya Prabu Ragamulya Luhur Prabawa (Raja Sunda ke 26) diberi nama pula Citraresmi. Lahir pada tahun 1339 Masehi. Sang puteri terkenal dengan kecantikannya sehingga dijuluki wajra yang berati permata. Sang Prabu Hayam Wuruk menginginkan untuk memperistri sang Puteri, dimana hal tersebut memiliki alasan logis karena mengingat kekerabatan Sunda – Majapahit yang telah terjalin dengan baik sejak lama. Pendiri Majapahit, yaitu Raden Wijaya yang bergelar Sang Kertarajasa Jayawardhana adalah cucu dari Prabu Darmariksa- Maharaja Sunda.

Untuk itu Bre Majapahit mengutus Patih Madu sebagai utusan kerajaan. Prabu Maharaja Linggabuana menerima lamaran tersebut dan menyetujui untuk melaksanakan upacara pernikahan di keraton kerajaan Majapahit. Namun sayang Mahapatih Gajah Mada tidak menyetujui pernikahan tersebut. Diam – diam ia menginginkan Sang Rajaputeri untuk diserahkan sebagai upeti demi terlaksananya Sumpah Amukti Palapa yang dicanangkannya.

Seperti yang diberitakan oleh kitab Pararaton :

Teka ratu Sunda maring Majapahit, sang ratu Maharaja tan pangaturakan putri. Wong Sunda kudu awaramena tingkahing jurungen. Sira Patihing Majapahit tan payun yen wiwahanen reh sira rajaputri makaturatura.

Yang artinya: “Lalu Raja Sunda datang di Majapahit. Sang Ratu Maharaja tidak bersedia mempersembahkan sang puteri. Orang Sunda harus meniadakan selamatan dan upacara pernikahan kata sang utusan. Sang Mahapatih Majapahit Gajah Mada tidak menginginkan pernikahan resmi, sebab ia menganggap rajaputeri Citraresmi sebagai upeti.”

Akhirnya Sang Patih meluap amarahnya atas penolakan sang Raja Sunda. Ia memerintahkan laskar Majapahit untuk menghabisi Raja beserta pengiringnya yang hanya beberapa puluh orang. Sang Mahaprabu tidak gentar. Ia berseru :

“Walaupun darah akan mengalir bagai sungai di Palagan Bubat ini, namun kehormatanku dan semua ksatria Sunda tidak akan membiarkan penghianatan terhadap negara dan rakyatku. Karena itu , janganlah kalian bimbang!”

 Pertempuran yang tidak berimbang ini mengakibatkan seluruh orang Sunda tewas.Sedangkan Prajurit Gajah mada yang tewas berkisar seribu orang. Sang Ratu dan sang Ratna Citraresmi melakukan bela pati. Pembesar, pengiring, dayang-dayang, tak seorangpun yang tersisa.

Ketika Hayam Wuruk tiba di Palagan Bubat, sangatlah sedih hatinya. Setelah semua jenazah disempurnakan dan dibakar di Bubat, abu jenazah kemudian dikuburkan di Astana Gede, Kawali. Kemudian Sang Prabu Hayam wuruk jatuh sakit yang amat lama. Kerajaan menyalahkan Gajah Mada dan merencanakan agar Gajah Mada ditangkap dan dihukum. Sang Patih melarikan diri dan tak tentu rimbanya. Akhir hidupnyapun tidak diketahui dan dicatat dalam sejarah.!!

Peristiwa Bubat

umuli pasunda-bubat. Bhre prabhu ayun ing putri ring Sunda.Patih Madu ingutus angundangeng wong Sunda.
Tulisan diatas merupakan kisah tragedi bubat, dimuat dalam Berita Pararathon. Kitab tersebut menyebutnya Pabubat atau Pasunda Bubat.

Ahidep wong Sunda yan awarawarangana.Teka ratu Sunda maring Majapahit,

sang ratu Maharaja tan pangaturaken putri.Wong Sunda kudu awiramena tingkahing jurungen.

Sira patihing Majapahit tan payun yen wiwahanen-reh sira rajaputri makaturatura.

Tragedi Bubat terjadi antara Kerajaan Sunda dengan Majapahit, ketika di Majapahit dibawah pemerintahan Prabu Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada, sedangkan Kerajaan Sunda pada waktu di pimpin oleh Prabu Maharaja Linggabuana. Bubat terletak di Wilayah Jawa Timur, sebelah utara Majapahit.

Tragedi Bubat diperkirakan terjadi pada abad Ke-14, tepatnya pada hari selasa, sebelum tengah hari, dasawarsa 6, tahun 1357 M. Menurut Berita dari Nusantara II/2 halaman 62, dikisahkan gugurnya Prabu Linggabuana beserta para ksatria Sunda, sebagai berikut :

‘Selanjutnya dikisahkan, pada tanggal 13 bagian terang bulan Badra tahun 1279 Saka Sang Prabu Maharaja Sunda gugur di Bubat di negeri Majapahit. Saat itu Sang Prabu Maharaja bermaksud menikahkan putrinya yaitu Sang Retna Citraresmi atau Dyah Pitaloka dengan Bre Prabu Majapahit yang bernama Hayam Wuruk dengan julukan Sri Rajasanagara’.

Tragedi Bubat dikisahkan dalam beberapa sumber, antara lain Kidung Sunda ; Kidung Sundayana ; Carita Parahyangan ; Kitab Pararathon ; dan Pustaka Nusantara. Bahkan sudah terbit novel yang bersifat hiburan dan memuaskan keingin tahuan pembaca. Karena tentunya, mengisahkan Gajah Mada tidaklah lengkap jika tidak mencantumkan Peristiwa Bubat.

Seorang pakar Belanda bernama Prof Dr.C.C.Berg, menemukan beberapa versi Kidung Sunda, disinyalir disusun dengan menggunakan bahasa Jawa Pertengahan, berbentuk tembang (syair). Dua di antaranya pernah dibicarakan dan diterbitkannya, yaitu Kidung Sunda dan Kidung Sundayana (Perjalanan Urang Sunda) yang berasal dari Bali.

Di Bali Kidung Sundayana di kenal dengan nama Geguritan Sunda. Mungkin karena Berg kebetulan orang Belanda, dan pada masa lalu banyak menyebar luaskan kepada khalayak, maka masalah Bubat pernah disebut-sebut sebagai upaya Belanda untuk memecah belah Indonesia. Tapi dokumen lainpun selain Kidung Sundayanan atau Geguritan Sunda ditemukan pula, seperti dalam naskah Pararathon dan Pustaka Nusantara. Bahkan sekalipun hanya satu alinea, di dalam Carita Parahyangan pun di muat, sebagai berikut :

* Boga anak, Prebu Maharaja, lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran keuna ku musibat, Kabawa cilaka ku anakna, ngaran Tohaan, menta gede pameulina.
*Urang rea asalna indit ka Jawa, da embung boga salaki di Sunda. Heug wae perang di Majapahit.

Kidung Sunda atau Kidung Sundayana merupakan upaya dan niat baik Prabu Hayam Wuruk untuk menyesalkan masalah bubat. Hayam Wuruk mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahannya. Melalui perantara Sang Darmadyaksa itu Hayam Wuruk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati, pada waktu itu menggantikan Raja Sunda.dengan menyerahkan Abu dari Prabhu Linggabuana dan Putrinya Dyah pitaloka citraresmi.sampai saat ini abu mereka masih tersimpan di Astana Gede kawali Ciamis. Pada kesempatan itu pula dijanjikan, bahwa : peristiwa bubat akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana. Semua bertujuan agar dapat diambil hikmahnya.

Di edit dan di ceritakan kembali oleh

Fajar Dwi H.

Dari berbagai sumber.

September 14, 2009 Posted by | 1, BABAK IX Tragedy Bubat, Babak VII Hubungan Majapahit Sunda Galuh | 3 Comments

Babak VII Hubungan Darah Majapahit dengan Maharaja Sunda

Hubungan Sunda dengan Majapahit

Didalam Pustaka Nusantara II diterangkan bahwa permaisuri Darmasiksa adalah putri keturunan Sanggramawijayottunggawarman, penguasa Sriwijaya yang bertahta sejak tahun 1018 sampai dengan 1027 M. Dari perkimpoiannya lahir dua orang putra, yakni Rakeyan Jayagiri atau Rakeyan Jayadarma dan Sang Ragasuci atau Rakeyan Saunggalah, dikenal pula dengan sebutan Sang Lumahing Taman.

Rakeyan Jayadarma dinikahkan dengan putri Mahisa Campaka dari Tumapel Jawa Timur, bernama Dyah Lembu Tal, sedangkan putranya yang kedua, yakni Ragasuci dijodohkan dengan Dara Puspa, putri Trailpkyaraja Maulibusanawar-madewa, dari Melayu. Dara Kencana, kakak dari Dara Puspita diperistri oleh Kertanegara, raja Singosari. Dari posisi campuran perkimpoian pada waktu itu sunda dapat memposisikan diri sebagai pelaku penengah pada setiap terjadi perselisihan antara Sumatra dan Jawa Timur.

Hubungan kekerabatan Sunda dengan Majapahir dimuat pula dalam naskah lain. Menurut Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3 : Rakeyan Jayadarma, putra Prabu Dharmasiksa Raja Sunda, adalah menantu Mahisa Campaka dari Jawa Timur. Rakeyan Jayadarma berjodoh dengan putrinya Mahisa Campaka yang bernama Dyah Singamurti alias Dyah Lembu Tal. Mahisa Campaka adalah anak dari Mahisa Wong Teleng, yang merupakan anak dari Ken Angrok, raja Singosari dari Ken Dedes.

Dari pernikahan Rakeyan Jayadarma denga Dyah Lembu Tal di Pakuan, memiliki putra yang bernama Sang Nararya Sanggramawijaya atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya. Dengan demikian Raden Wijaya adalah turunan ke 4 dari Ken Angrok dan Ken Dedes.

Dikarenakan Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke Jawa Timur. Raden Wijaya setelah dewasa menjadi senapati Singasari, pada waktu itu diperintah oleh Kertanegara, hingga pada suatu ketika ia mampu mendirikan negara Majapahit. Raden Wijaya didalam Babad Tanah Jawi dikenal juga dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran, karena ia lahir di Pakuan.

Dari alur kesejarahan tersebut, Raden Wijaya di Sunda dikenal juga sebagai Cucu dari Prabu Darmasiksa, Raja sunda yang ke-25, ayah Rakeyan Jayadarma. Dalam Pustaka Nusantara III dikisahkan pula, bahwa : Darmasiksa masih menyaksikan Raden Wijaya, cucunya mengalahkan Jayakatwang, raja Singasari. Kemudian dengan taktis ia mampu menyergap dan mengusir Pasukan Kublay Khan dari Jawa Timur. Empat hari pasca pengusiran pasukan Cina, atau pada 1293 M, Raden Wijaya dinobatkan menjadi raja Wilwatika dengan gelar Kertarajasa Jayawardana.

Hubungan Darmasiksa dengan Raden Wijaya ditulis pula dalam Pustaka Nusantara III, tentang pemberian nasehat Darmasiksa kepada Raden Wijaya, cucunya. Ketika itu Raden Wijaya berkunjung ke Pakuan dan mempersembah-kan hadiah kepada kakeknya. Nasehat tersebut, sebagai berikut :

Haywa ta sira kedo athawamerep ngalindih Bhumi Sunda mapan wus kinaliliran ring ki sanak ira dlahanyang ngku wus angemasi. Hetunya nagaramu wus agheng jaya santosa wruh ngawang kottaman ri puyut katisayan mwang jayacatrum, ngke pinaka mahaprabu. Ika hana ta daksina sakeng Hyang Tunggal mwang dumadi seratanya.

Ikang Sayogyanya rajya Jawa lawan rajya Sunda paraspasarpana atuntunan tangan silih asih pantara ning padulur. Yatanyan tan pratibandeng nyakrawati rajya sowangsowang. Yatanyan siddha hitasukha. Yan rajya Sunda duh kantara, wilwatika sakopayana maweh carana ; mangkana juga rajya Sunda ring Wilwatika.

(Janganlah hendaknya kamu menggangu, menyerang dan merebut Bumi Sunda karena telah diwariskan kepada Saudaramu bila kelak aku telah tiada. Sekalipun negaramu telah menjadi besar dan jaya serta sentosa, aku maklum akan keutamaan, keluar biasaan dan keperkasaan mu kelak sebagai raja besar. Ini adalah anugrah dari Yang Maha Esa dan menjadi suratan-Nya.

Sudah selayaknya kerajaan Jawa dengan kerajaan Sunda saling membantu, bekerjasama dan saling mengasihi antara anggota keluarga. Karena itu janganlah beselisih dalam memerintah kerajaan masing-masing. Bila demikian akan menjadi keselamatan dankebahagiaan yang sempurna. Bila kerajaan Sunda mendapat kesusahan, Majapahit hendaknya berupaya sungguh-sungguh memberikan bantuan ; demikian pula halnya Kerajaan Sunda kepada Majapahit).

Memang, ketika masa Raden Wijaya, hubugan Sunda dengan Majapahit sangat baik dan tanpa percekcokan.

Itu sebabnya dalam Penyatuan Nusantara lewat Sumpah palapa Mahapatih gajahmada yang di kumandangkan di Hadapan Ratu Tribuanatungga dewi (Istri tertua dari raden wijaya,sepeninggal Raden wijaya dan Raja ke dua Jaya negara.) pada saat pengucapan sumpah palapa Tribuana tungga dewi menjadi Raja majaphit ke tiga menggantikan putranya jayanegara.Kerajaan Sunda –Galuh tidak pernah di masukkan dalam wilayah taklukan Majapahit,karena Sunda Galuh adalah kerajaan leluhur raja raja Majapahit.
Di edit oleh

Fajar Dwi Herdiyan

dari berbagai sumber

September 14, 2009 Posted by | 1 | 3 Comments

SEJARAH KERAJAAN PANJALU

 

KERAJAAN PANJALU CIAMIS

(SILSILAH, SASAKALA, SEJARAH)

ASAL MULA PANJALU

Panjalu adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang terletak di kaki Gunung Sawal (1764 m dpl) Jawa Barat. Secara geografis pada abad ke-13 sampai abad ke-16 (tahun 1200-an sampai dengan tahun 1500-an) Kerajaan Panjalu berbatasan dengan Kerajaan Talaga, Kerajaan Kuningan, dan Cirebon di sebelah utara. Di sebelah timur Kerajaan Panjalu berbatasan dengan Kawali (Ibukota Kemaharajaan Sunda 1333-1482), wilayah selatannya berbatasan dengan Kerajaan Galuh, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Galunggung dan Kerajaan Sumedang Larang.

Panjalu berasal dari kata jalu (bhs. Sunda) yang berarti jantan, jago, maskulin, yang didahului dengan awalan pa (n). Kata panjalu berkonotasi dengan kata-kata: jagoan, jawara, pendekar, warrior (bhs. Inggeris: pejuang, ahli olah perang), dan knight (bhs. Inggeris: kesatria, perwira).

Ada pula orang Panjalu yang mengatakan bahwa kata panjalu berarti “perempuan” karena berasal dari kata jalu yang diberi awalan pan, sama seperti kata male (bhs. Inggeris : laki-laki) yang apabila diberi prefiks fe + male menjadi female (bhs.Inggeris : perempuan). Konon nama ini disandang karena Panjalu pernah diperintah oleh seorang ratu bernama Ratu Permanadewi.

Mengingat sterotip atau anggapan umum watak orang Panjalu sampai sekarang di mata orang Sunda pada umumnya, atau dibandingkan dengan watak orang Sunda pada umumnya, orang Panjalu dikenal lebih keras, militan juga disegani karena konon memiliki banyak ilmu kanuragan warisan dari nenek moyang mereka, oleh karena itu arti kata Panjalu yang pertama sepertinya lebih mendekati kesesuaian.

Menurut Munoz (2006) Kerajaan Panjalu Ciamis (Jawa Barat) adalah penerus Kerajaan Panjalu Kediri (Jawa Timur) karena setelah Maharaja Kertajaya Raja Panjalu Kediri terakhir tewas di tangan Ken Angrok (Ken Arok) pada tahun 1222, sisa-sisa keluarga dan pengikut Maharaja Kertajaya itu melarikan diri ke kawasan Panjalu Ciamis. Itulah sebabnya kedua kerajaan ini mempunyai nama yang sama dan Kerajaan Panjalu Ciamis adalah penerus peradaban Panjalu Kediri.

Nama Panjalu sendiri mulai dikenal ketika wilayah itu berada dibawah pemerintahan Prabu Sanghyang Rangga Sakti dan penerusnya Prabu Sanghyang Rangga Gumilang; sebelumnya kawasan Panjalu lebih dikenal dengan sebutan Kabuyutan Sawal atau Kabuyutan Gunung Sawal. Istilah Kabuyutan identik dengan daerah Kabataraan yaitu daerah yang memiliki kewenangan keagamaan (Hindu) seperti Kabuyutan Galunggung atau Kabataraan Galunggung.

Kabuyutan adalah suatu tempat atau kawasan yang dianggap suci dan biasanya terletak di lokasi yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, biasanya di bekas daerah Kabuyutan juga ditemukan situs-situs megalitik (batu-batuan purba) peninggalan masa prasejarah.

KEKUASAAN KABATARAAN (TAHTA SUCI) PANJALU

Pendiri Kerajaan Panjalu adalah Batara Tesnajati yang petilasannya terdapat di Karantenan Gunung Sawal. Mengingat gelar Batara yang disandangnya, maka kemungkinan besar pada awal berdirinya Panjalu adalah suatu daerah Kabataraan sama halnya dengan Kabataraan Galunggung yang didirikan oleh Batara Semplak Waja putera dari Sang Wretikandayun (670-702), pendiri Kerajaan Galuh.

Daerah Kabataraan adalah tahta suci yang lebih menitikberatkan pada bidang keagamaan atau spiritual, dengan demikian seorang Batara selain berperan sebagai Raja juga berperan sebagai Brahmana atau Resiguru. Seorang Batara di Kemaharajaan Sunda mempunyai kedudukan yang sangat penting karena ia mempunyai satu kekuasaan istimewa yaitu kekuasaan untuk mengabhiseka atau mentahbiskan atau menginisiasi penobatan seorang Maharaja yang naik tahta Sunda.

Menurut sumber sejarah Kerajaan Galunggung, para Batara yang pernah bertahta di Galunggung adalah Batara Semplak Waja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan Batari Hyang. Berdasarkan keterangan Prasasti Geger Hanjuang, Batari Hyang dinobatkan sebagai penguasa Galunggung pada tanggal 21 Agustus 1111 M atau 13 Bhadrapada 1033 Caka. Kabataraan Galunggung adalah cikal bakal Kerajaan Galunggung yang dikemudian hari menjadi Kabupaten Sukapura (Tasikmalaya).

Besar kemungkinan setelah berakhirnya periode kabataraan di Galunggung itu kekuasaan kabataraan di Kemaharajaan Sunda dipegang oleh Batara Tesnajati dari Karantenan Gunung Sawal Panjalu. Adapun para batara yang pernah bertahta di Karantenan Gunung Sawal adalah Batara Tesnajati, Batara Layah dan Batara Karimun Putih. Pada masa kekuasaan Prabu Sanghyang Rangga Sakti, putera Batara Karimun Putih, Panjalu berubah dari kabataraan menjadi sebuah daerah kerajaan.

Diperkirakan kekuasaan kabataraan Sunda kala itu dilanjutkan oleh Prabu Guru Aji Putih di Gunung Tembong Agung, Prabu Guru Aji Putih adalah seorang tokoh yang menjadi perintis Kerajaan Sumedang Larang. Prabu Guru Aji Putih digantikan oleh puteranya yang bernama Prabu Resi Tajimalela, menurut sumber sejarah Sumedang Larang, Prabu Resi Tajimalela hidup sejaman dengan Maharaja Sunda yang bernama Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Prabu Resi Tajimalela digantikan oleh puteranya yang bernama Prabu Resi Lembu Agung, kemudian Prabu Resi Lembu Agung digantikan oleh adiknya yang bernama Prabu Gajah Agung yang berkedudukan di Ciguling. Dibawah pemerintahan Prabu Gajah Agung, Sumedang Larang bertransisi dari daerah kabataraan menjadi kerajaan.

Kekuasaan kabataraan kemudian dilanjutkan oleh Batara Gunung Picung yang menjadi cikal bakal Kerajaan Talaga (Majalengka). Batara Gunung Picung adalah putera Suryadewata, sedangkan Suryadewata adalah putera bungsu dari Maharaja Sunda yang bernama Ajiguna Linggawisesa (1333-1340), Batara Gunung Picung digantikan oleh puteranya yang bernama Pandita Prabu Darmasuci, sedangkan Pandita Prabu Darmasuci kemudian digantikan oleh puteranya yang bernama Begawan Garasiang. Begawan Garasiang digantikan oleh adiknya sebagai Raja Talaga yang bernama Sunan Talaga Manggung dan sejak itu Talaga menjadi sebuah kerajaan.

HUBUNGAN PANJALU DENGAN KEMAHARAJAAN SUNDA

Kemaharajaan Sunda adalah suatu kerajaan yang merupakan penyatuan dua kerajaan besar di Tanah Sunda yang saling terkait erat, yaitu Kerajaan Sunda yang didirikan Maharaja Tarusbawa (669-723) dan Kerajaan Galuh yang didirikan Sang Wretikandayun (670-702). Kedua kerajaan tersebut dipersatukan kembali dibawah satu mahkota Kemaharajaan Sunda oleh cicit Wretikandayun bernama Sanjaya (723-732) yang sebelumnya bergelar Rakeyan Jamri dan menjadi penguasa Kerajaan Sunda bergelar Sang Harisdarma. Sunda dan Galuh sebelumnya adalah pecahan dari Kerajaan Tarumanagara (358-669).

Berdasarkan peninggalan sejarah seperti prasasti dan naskah kuno, ibu kota Kerajaan Sunda berada di daerah yang sekarang menjadi kota Bogor yaitu Pakwan Pajajaran, sedangkan ibu kota Kerajaan Galuh adalah yang sekarang menjadi kota Ciamis, tepatnya di Kawali. Namun demikian, banyak sumber peninggalan sejarah yang menyebut perpaduan kedua kerajaan ini dengan nama Kerajaan Sunda saja atau tepatnya Kemaharajaan Sunda dan penduduknya sampai sekarang disebut sebagai orang Sunda.

Panjalu adalah salah satu kerajaan daerah yang termasuk dalam kekuasaan Kemaharajaan Sunda karena wilayah Kemaharajaan Sunda sejak masa Sanjaya (723732) sampai dengan Sri Baduga Maharaja (1482-1521) adalah seluruh Jawa Barat termasuk Provinsi Banten dan DKI Jakarta serta bagian barat Provinsi Jawa Tengah, yaitu mulai dari Ujung Kulon di sebelah barat sampai ke Sungai Cipamali (Kali Brebes) dan Sungai Ciserayu (Kali Serayu) di sebelah timur.

Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kemaharajaan Sunda juga mencakup Provinsi Lampung sekarang sebagai akibat dari pernikahan antar penguasa daerah itu, salah satunya adalah Niskala Wastu Kancana (1371-1475) yang menikahi Nay Rara Sarkati puteri penguasa Lampung, dan dari pernikahan itu melahirkan Sang Haliwungan yang naik tahta Pakwan Pajajaran (Sunda) sebagai Prabu Susuktunggal (1475-1482), sedangkan dari Nay Ratna Mayangsari puteri sulung Hyang Bunisora (1357-1371), Niskala Wastu Kancana berputera Ningrat Kancana yang naik tahta Kawali (Galuh) sebagai Prabu Dewa Niskala (1475-1482).

Lokasi Kerajaan Panjalu yang berbatasan langsung dengan Kawali dan Galuh juga menunjukkan keterkaitan yang erat dengan Kemaharajaan Sunda karena menurut Ekadjati (93:75) ada empat kawasan yang pernah menjadi ibukota Sunda yaitu: Galuh, Parahajyan Sunda, Kawali, dan Pakwan Pajajaran.

Kerajaan-kerajaan lain yang menjadi bagian dari Kemaharajaan Sunda adalah: Cirebon Larang, Cirebon Girang, Sindangbarang, Sukapura, Kidanglamatan, Galuh, Astuna Tajeknasing, Sumedang Larang, Ujung Muhara, Ajong Kidul, Kamuning Gading, Pancakaki, Tanjung Singguru, Nusa Kalapa, Banten Girang dan Ujung Kulon (Hageman,1967:209). Selain itu Sunda juga memiliki daerah-daerah pelabuhan yang dikepalai oleh seorang Syahbandar yaitu Bantam (Banten), Pontang (Puntang), Chegujde (Cigede), Tanggerang, Kalapa (Sunda Kalapa), dan Chimanuk (Cimanuk) (Armando Cortesao, 1944:196).

Kaitan lain yang menarik antara Kemaharajaan Sunda dengan Kerajaan Panjalu adalah bahwa berdasarkan catatan sejarah Sunda, Hyang Bunisora digantikan oleh keponakan sekaligus menantunya yaitu Niskala Wastu Kancana yang setelah mangkat dipusarakan di Nusa Larang, sementara menurut Babad Panjalu tokoh yang dipusarakan di Nusa Larang adalah Prabu Rahyang Kancana putera dari Prabu Sanghyang Borosngora.

Ada dugaan Sanghyang Borosngora yang menjadi Raja Panjalu adalah Hyang Bunisora Suradipati, ia adalah adik Maharaja Linggabuana yang gugur di palagan Bubat melawan tentara Majapahit pada tahun 1357. Hyang Bunisora menjabat sebagai Mangkubumi Suradipati mewakili keponakannya yaitu Niskala Wastu Kancana yang baru berusia 9 tahun atas tahta Kawali . Hyang Bunisora juga dikenal sebagai Prabu Kuda Lelean dan Batara Guru di Jampang karena menjadi seorang petapa atau resi yang mumpuni di Jampang (Sukabumi). Tentunya perlu penelitian lebih lanjut untuk memastikan dugaan ini.

Sementara itu sumber lain dari luar mengenai kaitan Panjalu dengan Sunda yakni dari Wawacan Sajarah Galuh memapaparkan bahwa setelah runtuhnya Pajajaran, maka putera-puteri raja dan rakyat Pajajaran itu melarikan diri ke Panjalu, Kawali, dan Kuningan.

KAITAN DENGAN KERAJAAN PANJALU (KEDIRI) DI JAWA TIMUR

Pendiri Kerajaan Kahuripan adalah Airlangga atau sering pula disingkat Erlangga, yang memerintah tahun 1009-1042, dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Nama Airlangga berarti air yang melompat. Ia lahir tahun 990. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu, Bali dari Wangsa Warmadewa.

Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata).

Menurut Prasasti Pucangan, pada tahun 1006 Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa (saudara Mahendradatta) di Watan, ibu kota Kerajaan Medang. Tiba-tiba kota Watan diserbu Raja Wurawari dari Lwaram, yang merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam serangan itu, Dharmawangsa tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan (wanagiri) ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia 16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.

Nama kerajaan yang didirikan Airlangga pada umumnya lazim disebut Kerajaan Kahuripan. Padahal sesungguhnya, Kahuripan hanyalah salah satu nama ibukota kerajaan yang pernah dipimpin Airlangga. Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya supaya membangun kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Watan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibukota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan. Nama kota ini tercatat dalam Prasasti Cane (1021).

Menurut Prasasti Terep (1032), Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga Airlangga melarikan diri ke desa Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan (1037), ibu kota kerajaan sudah pindah ke Kahuripan (daerah Sidoarjo sekarang).

Menurut Prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang). Berita ini sesuai dengan naskah Serat Calon Arang yang menyebut Airlangga sebagai raja Daha. Bahkan, Nagarakretagama juga menyebut Airlangga sebagai raja Panjalu yang berpusat di Daha.

Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal Dharmawangsa, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas pulau Jawa.

Pada tahun 1023 Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa, Raja Colamandala dari India. Hal ini membuat Airlangga merasa lebih leluasa mempersiapkan diri menaklukkan pulau Jawa. Penguasa pertama yang dikalahkan oleh Airlangga adalah Raja Hasin. Pada tahun 1030 Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa Raja Wuratan, Wijayawarma Raja Wengker, kemudian Panuda Raja Lewa.

Pada tahun 1031 putera Panuda mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula.

Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari daerah Tulungagung sekarang berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan Mas dihancurkannya. Airlangga terpaksa melarikan diri ke Desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala. Airlangga membangun ibu kota baru di Kahuripan. Raja wanita itu akhirnya dapat dikalahkannya. Dalam tahun 1032 itu pula Airlangga dan Mpu Narotama mengalahkan Raja Wurawari, membalaskan dendam Wangsa Isyana.

Terakhir, pada tahun 1035 Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarma Raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri.

Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.

1.Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.

2.Membangun Bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.

3.Memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang.

4.Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.

5.Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.

6.Memindahkan ibukota dari Kahuripan ke Daha.

Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari.

Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.

Menurut cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai Prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi.

Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan.

Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata sebagai Raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.

Airlangga terpaksa membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan Prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut Panjalu atau Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur bernama Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan.

Dalam prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam Prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut. Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal. Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian.

Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan Prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan.

Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut.

Maharaja Jayabhaya adalah Raja Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157. Nama gelar lengkapnya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kadiri. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135), prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha (1157).

Pada prasasti Hantang, atau biasa juga disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya Kadiri menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang melawan Janggala. Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kadiri. Kemenangan Jayabhaya atas Janggala ini disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Korawa dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh tahun 1157.

Sri Maharaja Kertajaya adalah raja terakhir Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1194-1222. Pada akhir pemerintahannya, ia dikalahkan oleh Ken Arok dari Tumapel atau Singhasari, yang menandai berakhirnya masa Kerajaan Kadiri.

Nama Kertajaya terdapat dalam Nagarakretagama (1365) yang dikarang ratusan tahun setelah zaman Kadiri. Bukti sejarah keberadaan tokoh Kertajaya adalah dengan ditemukannya Prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), Prasasti Palah (1197), dan Prasasti Wates Kulon (1205). Dari prasasti-prasasti tersebut dapat diketahui nama gelar abhiseka Kertajaya adalah Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa.

Dalam Pararaton, Kertajaya disebut dengan nama Prabu Dandhang Gendis. Dikisahkan pada akhir pemerintahannya ia menyatakan ingin disembah para pendeta Hindu dan Buddha. Tentu saja keinginan itu ditolak, meskipun Dandhang Gendis pamer kesaktian dengan cara duduk di atas sebatang tombak yang berdiri.

Para pendeta memilih berlindung pada Ken Arok, bawahan Dandhang Gendis yang menjadi akuwu di Tumapel. Ken Arok lalu mengangkat diri menjadi raja dan menyatakan Tumapel merdeka, lepas dari Kadiri. Dandhang Gendis sama sekali tidak takut. Ia mengaku hanya bisa dikalahkan oleh Siwa. Mendengar hal itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Guru (nama lain Siwa) dan bergerak memimpin pasukan menyerang Kadiri.

Perang antara Tumapel dan Kadiri terjadi dekat Desa Ganter tahun 1222. Para panglima Kadiri yaitu Mahisa Walungan (adik Dandhang Gendis) dan Gubar Baleman mati di tangan Ken Arok. Dandhang Gendis sendiri melarikan diri dan bersembunyi naik ke kahyangan.

Nagarakretagama juga mengisahkan secara singkat berita kekalahan Kertajaya tersebut. Disebutkan bahwa Kertajaya melarikan diri dan bersembunyi dalam dewalaya (tempat dewa). Kedua naskah tersebut (Pararaton dan Nagarakretagama) memberitakan tempat pelarian Kertajaya adalah alam dewata. Kiranya yang dimaksud adalah Kertajaya bersembunyi di dalam sebuah candi pemujaan, atau mungkin Kertajaya tewas dan menjadi penghuni alam halus (akhirat)

Sejak tahun 1222 Kadiri menjadi daerah bawahan Tumapel (Singhasari). Menurut Nagarakretagama, putra Kertajaya yang bernama Jayasabha diangkat Ken Arok sebagai Bupati Kadiri. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya, yang bernama Sastrajaya. Kemudian tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya yang bernama Jayakatwang. Pada tahun 1292 Jayakatwang memberontak dan mengakhiri riwayat Tumapel.

Berita tersebut tidak sesuai dengan naskah Prasasti Mula Malurung (1255), yang mengatakan kalau penguasa Kadiri setelah Kertajaya adalah Bhatara Parameswara putra Bhatara Siwa (alias Ken Arok). Adapun Jayakatwang menurut prasasti Penanggungan adalah Bupati Gelang-Gelang yang kemudian menjadi Raja Kadiri setelah menghancurkan Tumapel tahun 1292.

Sumber-sumber sejarah Kerajaan Panjalu Ciamis sedikitpun tidak ada yang menyebutkan secara gamblang hubungannya dengan Kerajaan Panjalu Kediri, akan tetapi kesamaan nama kedua kerajaan ini sedikit-banyak menunjukkan adanya benang merah antara keduanya, apalagi nama Raja Panjalu Kediri Maharaja Kertajaya (1194-1222) juga disebut-sebut dalam Prasasti Galunggung (1194).

Paul Michel Munoz (2006) mengemukakan bahwa sisa-sisa keluarga dan pengikut Kertajaya (Raja terakhir Dinasti Sanjaya di Jawa Timur) melarikan diri ke daerah Panjalu (Sukapura/Ciamis) pada tahun 1222 untuk menghindari pembantaian Ken Angrok (Ken Arok), pendiri Kerajaan Singhasari/Dinasti Rajasa. Kertajaya sendiri sebagai Raja Kediri terakhir tewas dalam pertempuran di Tumapel melawan pemberontakan Akuwu Tumapel, Ken Angrok.

Berdasarkan kitab Nagarakretagama, Maharaja Kertajaya bersembunyi di Dewalaya (tempat Dewa) atau tempat suci, maka bukan tidak mungkin Maharaja Kertajaya sebenarnya tidak tewas di tangan Ken Arok, melainkan melarikan diri ke Kabataraan Gunung Sawal (Panjalu Ciamis) yang merupakan tempat suci dimana bertahtanya Batara (Dewa) Tesnajati.

IBUKOTA PANJALU

Ibukota atau pusat kerajaan Panjalu berpindah-pindah sesuai dengan perkembangan jaman, beberapa lokasi yang pernah menjadi pusat kerajaan adalah :

Karantenan Gunung Sawal

Karantenan Gunung Sawal menjadi pusat kerajaan semasa Panjalu menjadi daerah Kebataraaan, yaitu semasa kekuasaan Batara Tesnajati, Batara Layah dan Batara Karimun Putih. Di Karantenan Gunung Sawal ini terdapat mata air suci dan sebuah artefak berupa situs megalitik berbentuk batu pipih berukuran kira-kira 1,7 m x 1,5 m x 0,2 m. Batu ini diduga kuat digunakan sebagai sarana upacara-upacara keagamaan, termasuk penobatan raja-raja Panjalu bahkan mungkin penobatan Maharaja Sunda.

Dayeuhluhur Maparah

Dayeuhluhur menjadi pusat pemerintahan sejak masa Prabu Sanghyang Rangga Sakti sampai dengan Prabu Sanghyang Cakradewa. Kaprabon Dayeuhluhur terletak di bukit Citatah tepi Situ Bahara (Situ Sanghyang). Tidak jauh dari Dayeuhluhur terdapat hutan larangan Cipanjalu yang menjadi tempat bersemadi Raja-raja Panjalu. Konon Presiden I RI Ir Soekarno juga pernah berziarah ke tempat ini sewaktu mudanya untuk mencari petunjuk Tuhan YME dalam rangka perjuangan pergerakan kemerdekaan RI.

Nusa Larang

Prabu Sanghyang Borosngora memindahkan kaprabon (kediaman raja) dari Dayeuhluhur ke Nusa Larang. Nusa Larang adalah sebuah pulau yang terdapat di tengah-tengah Situ Lengkong. Dinamai juga Nusa Gede karena pada jaman dulu ada juga pulau yang lebih kecil bernama Nusa Pakel (sekarang sudah tidak ada karena menyatu dengan daratan sehingga menyerupai tanjung). Untuk menyeberangi situ menuju Keraton Nusa Larang dibangun sebuah Cukang Padung (jembatan) yang dijaga oleh Gulang-gulang (penjaga gerbang) bernama Apun Otek. Sementara Nusa Pakel dijadikan Tamansari dan Hujung Winangun dibangun Kapatihan untuk Patih Sanghyang Panji Barani.Dayeuh Nagasari Ciomas

Dayeuh Nagasari dijadikan kediaman raja pada masa pemerintahan Prabu Rahyang Kancana sampai dengan pemerintahan Bupati Raden Arya Wirabaya. Dayeuh Nagasari sekarang termasuk kedalam wilayah Desa Ciomas, Kecamatan Panjalu, Ciamis.

Pada masa pemerintahan Prabu Rahyang Kancana, di Ciomas juga terdapat sebuah pemerintahan daerah yang dikepalai oleh seorang Dalem (Bupati) bernama Dalem Mangkubumi yang wilayahnya masuk kedalam kekuasaan Kerajaan Panjalu.

Silsilah Ciomas Panjalu

Buyut Asuh.

Buyut Pangasuh.

Buyut Surangganta.

Buyut Suranggading.

Dalem Mangkubumi.

Dalem Penghulu Gusti.

Dalem Wangsaniangga.

Dalem Wangsanangga.

Dalem Margabangsa.

Demang Wangsadipraja. Patih Panjalu pada masa pemerintahan Arya Sumalah dan Pangeran Arya Sacanata, berputera Demang Wargabangsa I.

Demang Wargabangsa I. Patih Panjalu pada masa pemerintahan Arya Wirabaya, berputera Demang Wargabangsa II.

Demang Wargabangsa II. Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Wirapraja, memperisteri Nyi Raden Siti Kalimah binti Raden Jiwakrama bin Pangeran Arya Sacanata, berputera Demang Diramantri I.

Demang Diramantri I. Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Cakranagara I, memperisteri Nyi Raden Panatamantri binti Tumenggung Cakranagara I dan mempunyai tiga orang anak bernama 1) Demang Diramantri II, 2) Demang Wangsadipraja, dan Nyi Raden Sanggrana (diperisteri seorang Sultan Cirebon)

Demang Diramantri II. Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Cakranagara II menggantikan Demang Suradipraja. Sedangkan sang adik yaitu Demang Wangsadipraja menjadi Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Cakranagara III, Demang Wangsadipraja mempunyai dua orang anak yaitu: 1) Demang Prajanagara, dan 2) Demang Cakrayuda.

Demang Prajanagara diangkat menjadi Patih Galuh, sedangkan adiknya yang bernama Demang Cakrayuda diangkat menjadi Patih Kuningan. Demang Cakrayuda memperisteri Nyi Raden Rengganingrum binti Tumenggung Cakranagara II dan menurunkan putera bernama Demang Dendareja.

Demang Dendareja diangkat menjadi Patih Galuh.

Dayeuh Panjalu

Raden Tumenggung Wirapraja kemudian memindahkan kediaman bupati ke Dayeuh Panjalu sekarang.

Sementara itu pusat kerajaan Panjalu ditandai dengan sembilan tutunggul gada-gada perjagaan yaitu patok-patok yang menjadi batas pusat kerajaan sekaligus berfungsi sebagai pos penjagaan yang dikenal dengan Batara Salapan, yaitu terdiri dari:

Sri Manggelong di Kubang Kelong, Rinduwangi

Sri Manggulang di Cipalika, Bahara

Kebo Patenggel di Muhara Cilutung, Hujungtiwu

Sri Keukeuh Saeukeurweuleuh di Ranca Gaul, Tengger

Lembu Dulur di Giut Tenjolaya, Sindangherang

Sang Bukas Tangan di Citaman, Citatah

Batara Terus Patala di Ganjar Ciroke, Golat

Sang Ratu Lahuta di Gajah Agung Cilimus, Banjarangsana

Sri Pakuntilan di Curug Goong, Maparah

MASUKNYA ISLAM DAN PENGARUH CIREBON KE PANJALU

Menurut cerita yang disampaikan secara turun-temurun, masuknya Islam ke Panjalu dibawa oleh Sanghyang Borosngora yang tertarik menuntut ilmu sampai ke Mekkah lalu di-Islamkan oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A. Legenda rakyat ini mirip dengan kisah Pangeran Kian Santang atau Sunan Godog Garut, yaitu ketika Kian Santang atau Raja Sangara (adik Pangeran Cakrabuana Walangsungsang) yang setelah diislamkan oleh Baginda Ali di Mekkah kemudian berusaha mengislamkan ayahnya Sang Prabu Siliwangi.

Sementara itu menurut Babad Panjalu: dari Baginda Ali, Sanghyang Borosngora mendapatkan cinderamata berupa air zamzam, pedang, cis (tongkat) dan pakaian kebesaran. Air zamzam tersebut kemudian dijadikan cikal-bakal air Situ Lengkong, sedangkan pusaka-pusaka pemberian Baginda Ali itu sampai sekarang masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit dan dikirabkan setelah disucikan setiap bulan Mulud dalam upacara Nyangku di Panjalu pada hari Senin atau hari Kamis terakhir bulan Maulud (Rabiul Awal).

Dalam masa pendudukan Mataram selama 110 tahun ini (1595-1705), yang menjabat menjadi Bupati Panjalu secara berturut-turut adalah:

Raden Arya Sumalah

Pangeran Arya Sacanata alias Pangeran Arya Salingsingan

Raden Arya Wirabaya

Raden Tumenggung Wirapraja

PANJALU MASA VOC DAN HINDIA BELANDA

Berdasarkan perjanjian VOC dengan Mataram tanggal 5 Oktober 1705, maka seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten jatuh ke tangan Kompeni. Untuk mengawasi dan memimpin bupati-bupati Priangan ini, maka pada tahun 1706 Gubernur Jenderal VOC Joan van Hoorn (1704-1709) mengangkat Pangeran Arya Cirebon (1706-1723) sebagai opzigter atau Pemangku Wilayah Priangan.

Gubernur Jendral VOC menjadikan para Bupati sebagai pelaksana atau agen verplichte leverantie atau agen penyerahan wajib tanaman komoditas perdagangan seperti beras cengkeh, pala, lada, kopi, indigo dan tebu.

Kebijakan VOC ini sangat membebani kehidupan rakyat kecil, akibatnya pada tahun 1703 terjadi kerusuhan yang digerakkan oleh Raden Alit atau RH Prawatasari seorang menak (bangsawan) Cianjur keturunan Panjalu yang berasal dari Jampang (Sukabumi). Kerusuhan yang digerakkan RH Prawatasari ini melanda seluruh kepentingan VOC di wilayah Priangan (Jawa Barat) terutama di Cianjur, Bogor, dan Sumedang. Di Priangan timur terutama Galuh, kerusuhan ini melanda wilayah Utama, Bojonglopang dan Kawasen.

Namun pemberontakan RH Prawatasari ini akhirnya dapat dipadamkan oleh VOC pada 12 Juli tahun 1707, Raden Haji Prawatasari tertangkap dalam satu pertempuran seru di daerah Bagelen, Banyumas yang lalu kemudian di asingkan ke Kartasura.

Pasca pemberontakan RH Prawatasari, pada masa kepemimpinan Pangeran Arya Cirebon, Raden Prajasasana (putera Raden Arya Wiradipa bin Pangeran Arya Sacanata) yang menjadi pamong praja bawahan Pangeran Arya Cirebon diangkat sebagai Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara menggantikan Raden Tumenggung Wirapraja.

Pada tahun 1819, Gubernur Jenderal Hindia Belanda G.A.G.Ph. Baron Van der Capellen (18161826) menggabungkan Kabupaten Panjalu dan Kabupaten Kawali kedalam Kabupaten Galuh. Dengan demikian pada tahun itu Raden Tumenggung Cakranagara III dipensiunkan sebagai Bupati Panjalu, sementara di kabupaten Galuh, Bupati Wiradikusumah juga digantikan oleh puteranya yang bernama Adipati Adikusumah (1819-1839).

Semenjak itu Panjalu menjadi daerah kademangan di bawah kabupaten Galuh dan putera tertua Tumenggung Cakranagara III yang bernama Raden Demang Sumawijaya diangkat sebagai Demang Panjalu (Demang adalah jabatan setingkat Wedana) sedangkan putera ketujuh Cakranagara III yang bernama Raden Arya Cakradikusumah diangkat sebagai Wedana Kawali. Pada masa itu wedana adalah jabatan satu tingkat diatas camat (asisten wedana).

Raden Demang Sumawijaya setelah mangkat digantikan oleh putera tertuanya yang bernama Raden Demang Aldakusumah sebagai Demang Panjalu, semantara putera tertua dari Wedana Kawali Raden Arya Cakradikusumah yang bernama Raden Tumenggung Argakusumah diangkat menjadi Bupati Dermayu (sekarang Indramayu) dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara IV.

Pada tahun 1915 Kabupaten Galuh berganti nama menjadi Kabupaten Ciamis dan dimasukkan kedalam Keresidenan Priangan setelah dilepaskan dari wilayah administrasi Cirebon. Antara tahun 1926-1942 Ciamis dimasukkan kedalam afdeeling Priangan Timur bersama-sama dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Garut dengan ibukota afdeeling di Tasikmalaya. Pada tanggal 1 Januari 1926 Pemerintah Hindia Belanda membagi Pulau Jawa menjadi tiga provinsi yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Panjalu dewasa ini adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat.

Raden Tumenggung Cakranagara III, Raden Demang Sumawijaya, Raden Demang Aldakusumah dan Raden Tumenggung Argakusumah (Cakranagara IV) dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu, berada satu lokasi dengan pusara Prabu Rahyang Kancana putera Prabu Sanghyang Borosngora.

Dewasa ini Nusa Larang dan Situ Lengkong Panjalu menjadi obyek wisata alam dan wisata ziarah Islami utama di Kabupaten Ciamis dan selalu ramai dikunjungi oleh para peziarah dari seluruh Indonesia terutama dari Jawa Timur, apalagi setelah Presiden IV RI K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur diketahui beberapa kali berziarah di Nusa Larang dan mengaku bahwa dirinya juga adalah keturunan Panjalu.

SILSILAH PANJALU

Batara Tesnajati

Batara Tesnajati adalah tokoh pendiri Kabataraan Gunung Sawal, ia mempunyai seorang putera bernama Batara Layah. Petilasan Batara Tesnajati terdapat di Karantenan Gunung Sawal.

Batara Layah

Batara Layah menggantikan ayahnya sebagai Batara di Karantenan Gunung Sawal Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Batara Karimun Putih.

Batara Karimun Putih

Ia menggantikan ayahnya menjadi Batara di Gunung Sawal Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Prabu Sanghyang Rangga Sakti.

Prabu Sanghyang Rangga Sakti

Prabu Sanghyang Rangga Sakti naik tahta sebagai Raja Panjalu, sejak saat itu periode kebataraan di Panjalu berakhir. Ia membangun kaprabon di Dayeuhluhur, Maparah dan mempunyai seorang putera bernama Sanghyang Rangga Gumilang. Sanghyang Rangga Sakti petilasannya terletak di Cipanjalu.

Prabu Sanghyang Rangga Gumilang

Sanghyang Rangga Gumilang naik tahta Panjalu menggantikan ayahnya. Ia menikahi seorang puteri Galuh bernama Ratu Permanadewi dan mempunyai seorang putera bernama Sanghyang Lembu Sampulur. Petilasan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang terletak di Cipanjalu.

Prabu Sanghyang Lembu Sampulur I

Sanghyang Lembu Sampulur I naik tahta sebagai Raja Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Sanghyang Cakradewa.

Prabu Sanghyang Cakradewa

Sanghyang Cakradewa memperisteri seorang puteri Galuh bernama Ratu Sari Kidang Pananjung dan mempunyai enam orang anak yaitu:

Sanghyang Lembu Sampulur II,

Sanghyang Borosngora,

Sanghyang Panji Barani,

Sanghyang Anggarunting,

Ratu Mamprang Kancana Artaswayang, dan

Ratu Pundut Agung (diperisteri Maharaja Sunda).

Petilasan Prabu Sanghyang Cakradewa taerdapat di Cipanjalu. Menurut kisah dalam Babad Panjalu, Prabu Sanghyang Cakradewa adalah seorang raja yang adil dan bijaksana, di bawah pimpinannya Panjalu menjadi sebuah kerajaan yang makmur dan disegani. Suatu ketika sang raja menyampaikan keinginannya di hari tua nanti untuk meninggalkan singgasana dan menjadi Resi atau petapa (lengser kaprabon ngadeg pendita). Untuk itu sang prabu mengangkat putera tertuanya Sanghyang Lembu Sampulur II menjadi putera mahkota, sedangkan putera keduanya yaitu Sanghyang Borosngora dipersiapkan untuk menjadi patih dan senapati kerajaan (panglima perang). Oleh karena itu Sanghyang Borosngora pergi berkelana, berguru kepada para brahmana, petapa,resi, guru dan wiku sakti di seluruh penjuru tanah Jawa untuk mendapatkan berbagai ilmu kesaktian dan ilmu olah perang.

Beberapa tahun kemudian sang pangeran pulang dari pengembaraannya dan disambut dengan upacara penyambutan yang sangat meriah di kaprabon Dayeuhluhur, Prabu Sanghyang Cakradewa sangat terharu menyambut kedatangan puteranya yang telah pergi sekian lama tersebut. Dalam suatu acara, sang prabu meminta kepada Sanghyang Borosngora untuk mengatraksikan kehebatannya dalam olah perang dengan bermain adu pedang melawan kakaknya yaitu Sanghyang Lembu Sampulur II dihadapan para pejabat istana dan para hadirin. Ketika kedua pangeran itu tengah mengadu kehebatan ilmu pedang itu, tak sengaja kain yang menutupi betis Sanghyang Borosngora tersingkap dan tampaklah sebentuk rajah (tattoo) yang menandakan pemiliknya menganut ilmu kesaktian aliran hitam.

Prabu Sanghyang Cakradewa sangat kecewa mendapati kenyataan tersebut, karena ilmu itu tidak sesuai dengan Anggon-anggon Kapanjaluan (falsafah hidup orang Panjalu) yaitu mangan kerana halal, pake kerana suci, tekad-ucap-lampah sabhenere. Sang Prabu segera memerintahkan Sanghyang Borosngora untuk membuang ilmu terlarang itu dan segera mencari “Ilmu Sajati” yaitu ilmu yang menuntun kepada jalan keselamatan. Sebagai indikator apakah Sanghyang Borosngora telah menguasai ilmu sajati atau belum, maka sang prabu membekalinya sebuah gayung batok kelapa yang dasarnya diberi lubang-lubang sehingga tidak bisa menampung cidukan air. Apabila sang pangeran telah menguasai ilmu sajati, maka ia bisa menciduk air dengan gayung berlubang-lubang tersebut.

Untuk kedua kalinya Sanghyang Borosngora pergi meninggalkan kaprabon, dan kali ini ia berjalan tak tentu arah karena tidak tahu kemana harus mencari ilmu yang dimaksudkan oleh ayahnya itu. Letih berjalan tak tentu arah akhirnya ia duduk bersemadi, mengheningkan cipta, memohon kepada Sanghyang Tunggal agar diberikan petunjuk untuk mendapatkan Ilmu Sajati. Sekian lama bersemadi akhirnya ia mendapat petunjuk bahwa pemilik ilmu yang dicarinya itu ada di seberang lautan, yaitu di tanah suci Mekkah, Jazirah Arab. Dengan ilmu kesaktiannya Sanghyang Borosngora tiba di Mekkah dalam sekejap mata.

Di Mekkah itu Sanghyang Borosngora bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya agar dapat bertemu dengan seseorang yang mewarisi Ilmu Sajati yang dimaksud. Orang-orang yang tidak mengerti maksud sang pangeran menunjukkan agar ia menemui seorang pria yang tinggal dalam sebuah tenda di gurun pasir. Sanghyang Borosngora bergegas menuju tenda yang dimaksud dan ketika ia membuka tabir tenda itu dilihatnya seorang pria tua yang sedang menulis dengan pena. Karena terkejut dengan kedatangan tamunya, pena yang ada di tangan pria tua itu terjatuh menancap di tanah berpasir.

Lelaki misterius itu menegur sang pangeran karena telah datang tanpa mengucapkan salam sehingga mengejutkannya, setelah bertanya apa keperluannya datang ke tendanya, lelaki itu hanya meminta Sanghyang Borosngora agar mengambilkan penanya yang menancap di tanah. Sang pangeran segera memenuhi permintaan pria itu, tetapi terjadi kejanggalan, pena yang menancap di tanah itu seperti sudah menyatu dengan bumi sehingga walaupun segenap kekuatannya telah dikerahkan, namum pena itu tak bergeming barang sedikitpun.

Sanghyang Borosngora segera menyadari bahwa orang yang ada di hadapannya bukanlah orang sembarangan. Sebagai seorang kesatria ia mengakui kehebatan pria itu dan memohon ampun atas kelancangan sikapnya tadi. Sang pangeran juga memohon kesediaan pria misterius itu mengajarinya ilmu yang sangat mengagumkannya ini. Lelaki yang kemudian diketahui adalah Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A. ini hanya meminta Sanghyang Borosngora mengucapkan kalimat syahadat seperti yang dicontohkannya dan sungguh ajaib, pena yang menancap di tanah itu bisa dicabut dengan mudah olehnya.

Setelah peristiwa itu Sanghyang Borosngora menetap beberapa lama di Mekkah untuk menimba Ilmu Sajati kepada Baginda Ali R.A. yang ternyata adalah Dien Al Islam (Agama Islam). Di akhir masa pendidikannya Sanghyang Borosngora diberi wasiat oleh Baginda Ali agar melaksanakan syiar Islam di tanah asalnya. Sanghyang Borosngora yang sekarang bernama Syeikh Haji Abdul Iman ini kemudian diberi cinderamata berupa Pedang, Cis (tongkat), pakaian kebesaran. Sebelum pulang Syeikh Haji Abdul Iman juga menciduk air zam-zam dengan gayung berlubang pemberian ayahnya dan ternyata air zam-zam itu tidak menetes yang berarti ia telah berhasil menguasai ilmu sajati dengan sempurna.

Ringkas cerita Sanghyang Borosngora kembali ke kaprabon dan disambut dengan suka cita oleh sang prabu beserta seluruh kerabatnya. Sanghyang Borosngora juga menyampaikan syiar Islam kepada seluruh kerabat istana. Sang Prabu yang telah uzur menolak dengan halus ajakan puteranya itu dan memilih hidup sebagai pendeta sebagaimana kehendaknya dahulu dan menyerahkan singgasana kepada putera mahkota Sanghyang Lembu Sampulur II.

Air zam-zam yang dibawa Sanghyang Borosngora dijadikan cikal bakal air Situ Lengkong yang sebelumnya merupakan sebuah lembah yang mengelilingi bukit bernama Pasir Jambu. Gayung berlubang pemberian ayahnya dilemparkan ke Gunung Sawal dan kemudian menjadi sejenis tanaman paku yang bentuknya seperti gayung. Sanghyang Borosngora melanjutkan syiar Islamnya dengan mengembara ke arah barat melewati daerah-daerah yang sekarang bernama Tasikmalaya, Garut, Bandung, Cianjur dan Sukabumi.

Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II tidak lama memerintah di Kerajaan Panjalu, ia kemudian hijrah ke daerah Cimalaka di kaki Gunung Tampomas, Sumedang dan mendirikan kerajaan baru di sana. Sanghyang Borosngora yang menempati urutan kedua sebagai pewaris tahta Panjalu meneruskan kepemimpinan kakaknya itu dan menjadikan Panjalu sebagai kerajaan Islam yang sebelumnya bercorak Hindu.

Sebagai media syiar Islam, Sanghyang Borosngora mempelopori tradisi upacara adat Nyangku yang diadakan setiap Bulan Maulud (Rabiul Awal), yaitu sebuah prosesi ritual penyucian pusaka-pusaka yang diterimanya dari Baginda Ali R.A. yang setelah disucikan kemudian dikirabkan dihadapan kumpulan rakyatnya. Acara yang menarik perhatian khalayak ramai ini dipergunakan untuk memperkenalkan masyarakat dengan agama Islam dan mengenang peristiwa masuk Islamnya Sanghyang Borosngora.

Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II

Sanghyang Lembu Sampulur II naik tahta menggantikan Prabu Sanghyang Cakradewa, akan tetapi ia kemudian menyerahkan singgasana kerajaan kepada adiknya yaitu Sanghyang Borosngora,sedangkan ia sendiri hijrah dan mendirikan kerajaan baru di Cimalaka Gunung Tampomas (Sumedang).

Prabu Sanghyang Borosngora

Sanghyang Borosngora naik tahta Panjalu menggantikan posisi kakaknya, ia kemudian membangun keraton baru di Nusa Larang. Adiknya yang bernama Sanghyang Panji Barani diangkat menjadi Patih Panjalu. Di dalam Babad Panjalu tokoh Prabu Sanghyang Borosngora ini dikenal sebagai penyebar Agama Islam dan Raja Panjalu pertama yang menganut Islam, benda-benda pusaka peninggalannya masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit dan dikirabkan pada setiap bulan Maulud setelah terlebih dulu disucikan dalam rangkaian prosesi acara adat Nyangku.

Sanghyang Borosngora mempunyai dua orang putera yaitu:

1) Rahyang Kuning, dan

2) Rahyang Kancana.

Prabu Sanghyang Borosngora juga didamping oleh Guru Aji Kampuhjaya dan Bunisakti, dua orang ulama kerajaan yang juga merupakan senapati-senapati pilih tanding. Petilasan Prabu Sanghyang Borosngora terdapat di Jampang Manggung (Sukabumi), sedangkan petilasan Sanghyang Panji Barani terdapat di Cibarani (Banten).

Sanghyang Borosngora dan Hyang Bunisora

Hyang Bunisora Suradipati adalah adik Maharaja Sunda yang bernama Maharaja Linggabuana. Sang Maharaja terkenal sebagai Prabu Wangi yang gugur sebagai pahlawan di palagan Bubat melawan tentara Majapahit pada tahun 1357. Ketika peristiwa memilukan itu terjadi puteranya yang bernama Niskala Wastu Kancana baru berusia 9 tahun, untuk itu Hyang Bunisora menjabat sebagai Mangkubumi Suradipati mewakili keponakannya itu atas tahta Kawali .

Hyang Bunisora juga dikenal sebagai Prabu Kuda Lelean dan Batara Guru di Jampang karena menjadi seorang petapa atau resi yang mumpuni di Jampang (Sukabumi). Nama Hyang Bunisora yang mirip dengan Sanghyang Borosngora dan gelarnya sebagai Batara Guru di Jampang menyiratkan adanya keterkaitan antara kedua tokoh ini, meskipun belum bisa dipastikan apakah kedua tokoh ini adalah orang yang sama. Jika ternyata kedua tokoh ini adalah orang yang sama, pastinya akan membuka salah satu lembar yang tersembunyi dari Sejarah Sunda.

Sanghyang Borosngora dan Baginda Ali RA

Legenda pertemuan antara Sanghyang Borosngora dengan Baginda Ali R.A. ini sampai sekarang masih kontroversial mengingat keduanya hidup di jaman yang berbeda. Sayidina Ali hidup pada abad ke-7 M (tahun 600-an) sedangkan pada periode masa itu di tatar Sunda tengah berdiri Kerajaan Tarumanagara dan nama Panjalu belum disebut-sebut dalam sejarah. Nama Panjalu (Kabuyutan Sawal) mulai disebut-sebut ketika Sanjaya (723-732) hendak merebut Galuh dari tangan Purbasora, ketika itu Sanjaya mendapat bantuan pasukan khusus dari Rabuyut Sawal (Panjalu) yang merupakan sahabat ayahnya, Sena (709-716).

Sementara itu jika dirunut melalui catatan silsilah Panjalu sampai keturunannya sekarang, maka Sanghyang Borosngora diperkirakan hidup pada tahun 1400-an atau paling tidak sejaman dengan Sunan Gunung Jati Cirebon (1448-1568). Namun demikian, bukti-bukti cinderamata dari Sayidina Ali R.A. yang berupa pedang, tongkat dan pakaian kebesaran masih dapat dilihat dan tersimpan di Pasucian Bumi Alit. Kabarnya pedang pemberian Baginda Ali itu pernah diteliti oleh para ahli dan hasilnya menunjukkan bahwa kandungan logam dan besi yang membentuk pedang itu bukan berasal dari jenis bahan pembuatan senjata yang biasa dipakai para Empu dan Pandai Besi di Nusantara.

Sanghyang Borosngora, Walangsungsang dan Kian Santang

Kisah masuk Islamnya Sanghyang Borosngora yang diislamkan oleh Sayidina Ali R.A. ini mirip dengan kisah Kian Santang. Kian Santang adalah putera Prabu Siliwangi dari isteri keduanya yang bernama Nyai Subang Larang binti Ki Gedeng Tapa yang beragama Islam. Dari isteri keduanya ini Prabu Siliwangi mempunyai tiga orang putera-puteri yaitu Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana), Nyai Rara Santang, dan Kian Santang (Raja Sangara). Walangsungsang dan Rara Santang menuntut ilmu agama Islam mulai dari Pasai, Makkah, sampai ke Mesir; bahkan Rara Santang kemudian dinikahi oleh penguasa Mesir Syarif Abdullah atau Sultan Maulana Mahmud dan berputera Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Setelah naik haji Pangeran Cakrabuana berganti nama menjadi Syeikh Abdullah Iman, sedangkan Rara Santang setelah menikah berganti nama menjadi Syarifah Mudaim.

Sementara itu, berbeda dengan kedua kakaknya; Kian Santang dikisahkan memeluk Islam setelah bertemu dengan Baginda Ali lalu kembali ke tanah air untuk menyampaikan syiar Islam kepada sang ayah: Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi yang tidak bersedia memeluk Islam lalu menghilang beserta seluruh pengikutnya di Leuweung Sancang (hutan Sancang di daerah Garut sekarang). Kian Santang yang juga berganti nama menjadi Syeikh Mansyur, melanjutkan syiar Islamnya dan kemudian dikenal sebagai Sunan Rahmat Suci atau Sunan Godog yang petilasannya terdapat di Garut.

Sanghyang Borosngora versi Sejarah Cianjur

Menurut versi Sejarah Cianjur, Sanghyang Borosngora dikenal sebagai Prabu Jampang Manggung. Nama aslinya adalah Pangeran Sanghyang Borosngora, ia putera kedua Adipati Singacala (Panjalu) yang bernama Prabu Cakradewa. Prabu Cakradewa sendiri adalah putera Sedang Larang, Sedang Larang adalah putera Ratu Prapa Selawati.

Sanghyang Borosngora adalah putera Prabu Cakradewa dari permaisuri yang bernama Ratu Sari Permanadewi. Ratu Sari Permanadewi adalah putera keenam dari Adipati Wanaperi Sang Aria Kikis, jadi Sanghyang Borosngora adalah saudara misan Dalem Cikundul.

Sanghyang Borosngora mempunyai empat orang saudara dan pada usia 14 tahun ia diperintah sang ayah untuk berziarah ke tanah suci Mekkah. Pada bulan Safar 1101 H Sanghyang Borosngora berangkat ke Mekkah yang lama perjalanannya adalah 6 tahun.

Sepulang dari tanah suci, Sanghyang Borosngora mendapat julukan Syeikh Haji Sampulur Sauma Dipa Ulama. Tiba di kampung halamannya Kerajaan Singacala, sang ayah ternyata telah meninggal dunia. Borosngora kemudian berniat menurunkan ilmunya dan menyampaikan ajaran Islam kepada rakyat Pajajaran Girang dan Pajajaran Tengah, karena itu Borosngora mengembara ke nagari Sancang dan tanah Jampang.

Pada hitungan windu pertama, Sanghyang Borosngora melakukan perjalanan kunjungan ke tanah leluhurnya di Karantenan Gunung Sawal, nagari Sancang, Parakan Tilu, Kandangwesi, Gunung Wayang, Gunung Kendan (Galuh Wiwitan), Dayeuhkolot (Sagalaherang), nagari Wanayasa Rajamantri, Bayabang (menemui Kyai Nagasasra), Paringgalaya (sekarang sudah terbenam oleh Waduk Jatiluhur) dan kemudian kembali ke Gunung Wayang.

Pada windu kedua ia berangkat ke Jampang Wetan, Gunung Patuha, Gunung Pucung Pugur, Pasir Bentang, Gunung Masigit, Pager Ruyung, Pagelarang, Jampang Tengah, Curug Supit, Cihonje, Teluk Ratu, Gunung Sunda, Cipanegah, Cicatih kemudian mengunjungi Salaka Domas di Sela Kancana, Cipanengah, Cimandiri.

Windu ketiga Sanghyang Borosngora pergi ke Jampang Tengah mendirikan padepokan di Hulu Sungai Cikaso, Taman Mayang Sari (kuta jero), Jampang Kulon. Di tempat ini ia dikenal dengan nama Haji Soleh dan Haji Mulya. Setelah itu ia kembali ke Cipanengah, Gunung Rompang, di tempat ini ia dikenal sebagai Syeikh Haji Dalem Sepuh.

Sanghyang Borosngora menikahi seorang gadis yatim, cucu angkat Kanjeng Kiai Cinta Linuwih di Gunung Wayang. Gadis yatim ini adalah turunan langsung Senapati Amuk Murugul Sura Wijaya, Mantri Agung Mareja, wakil Sri Maharaja Pajajaran untuk wilayah Cirebon Girang dan Tengah.

Padaa windu ketiga, ia memiliki dua orang putra yaitu Hariang Sancang Kuning dan Pangeran Hariang Kancana. Sanghyang Borosngora hidup sampai usia lanjut, ia wafat setelah dari Gunung Rompang serta dimakamkan di suatu tempat di tepi Sungai Cileuleuy, Kp Langkob, Desa Ciambar, Kecamatan Nagrak, Sukabumi.

Putra cikalnya yaitu Hariang Sancang Kuning melakukan napak tilas perjalanan mendiang ayahnya ke Pajajaran Girang dan Tengah, kemudian ke Singacala (Panjalu). Ia wafat dan dimakamkan di Cibungur, selatan Panjalu. Salah seorang keturunannya yang terkenal adalah Raden Alit atau Haji Prawata Sari yang gigih menentang penjajah Belanda. Ia dikenal sebagai pemberontak yang sangat ditakuti berjuluk “Karaman Jawa”. Sedangkan adik Sancang Kuning yakni Pangeran Hariang Kancana menjadi Adipati Singacala kemudian hijrah ke Panjalu, setelah wafat ia dimakamkan di Giri Wanakusumah, Situ Panjalu.

Pertemuan para Raja di Gunung Rompang

Pada suatu masa beberapa orang raja dan adipati dari bekas kawasan Pajajaran tengah dan Pajajaran girang yang mencakup wilayah Cianjur, Sukabumi dan sekitarnya berkumpul di puncak gunung yang biasa dipakai sebagai lokasi musyawarah oleh para raja dan adipati yaitu di Gunung Rompang (dalam bhs. Sunda istilah rompang menunjukan keadaan senjata pedang, golok atau pisau yang sudah retak bergerigi karena terlalu sering dipakai). Dinamai Gunung Rompang karena pada masa akhir berdirinya kerajaan Sunda Pajajaran setelah melewati perang selama 50 tahun, senjata para prajurit Pajajaran telah menjadi rompang karena dipakai bertempur terus-menerus.

Lokasi ini dikenal juga sebagai “Karamat Pasamoan”, adapun tokoh-tokoh yang hadir pada pertemuan itu adalah :

Syeikh Dalem Haji Sepuh Sang Prabu Jampang Manggung yang berasal dari negeri Singacala (Panjalu) bawahan Galuh, di tanah Pajampangan ia dikenal dengan berbagai julukan yaitu sebagai Syeikh Haji Mulya, Syeikh Haji Sholeh, dan Syeikh Aulia Mantili.

Kanjeng Aria Wira Tanu Cikundul atau Pangeran Jaya Lalana, bergelar Raden Ngabehi Jaya Sasana, Pangeran Panji Nata Kusumah

Raden Sanghyang Panaitan atau Raden Widaya bergelar Pangerang Rangga Sinom di Sedang, Kanjeng Adipati Sukawayana.

Raden Adipati Lumaju Gede Nyilih Nagara di Cimapag.

Kanjeng Kyai Aria Wangsa Merta dari Tarekolot, Cikartanagara.

Kanjeng Dalem Nala Merta dari Cipamingkis.

Pangeran Hyang Jaya Loka dari Cidamar.

Pangeran Hyang Jatuna dari Kadipaten Kandang Wesi.

Pangeran Hyang Krutu Wana dari Parakan Tiga.

Pangeran Hyang Manda Agung dari Sancang.

Tujuan pertemuan para raja ini adalah untuk membahas keinginan para raja dan adipati untuk menjalin kerjasama yang lebih erat terutama dalam usaha menangkal serangan musuh dari luar. Untuk itu dibutuhkan adanya seorang pemimpin yang tangguh, pemimpin yang memegang tangkai, yang disebut sebagai Raja Gagang (Raja pemegang tangkai). Prabu Jampang Manggung mengusulkan agar Aria Wira Tanu Dalem Cikundul yang ditunjuk sebagai Raja Gagang, dan usul ini diterima oleh semua tokoh yang hadir.

Akhirnya, setelah menjalankan Shalat Jum’ah yang bertepatan dengan bulan purnama Rabiul Awal 1076 H atau 2 September 1655 berdiri negeri Cianjur yang merupakan negeri merdeka dan berdaulat, tidak tunduk kepada Kompeni, Mataram maupun Banten, hanya tunduk kepada Allah SWT. Negeri ini dipimpin oleh Aria Wira Tanu, Dalem Cikundul sebagai Raja Gagang.

Pemberontakan Raden Haji Alit Prawatasari

Raden Haji Alit Prawatasari adalah seorang ulama dari Jampang yang juga merupakan keturunan Sancang Kuning dari Singacala (Panjalu). Pemberontakan Raden Haji Alit Prawatasari dimulai pada bulan Maret 1703 dan terjadi sangat dahsyat. Haji Prawatasari sanggup memobilisasi rakyat menjadi pasukannya sebanyak 3000 orang sehingga membuat VOC kalang kabut. Pada suatu ketika tersebar berita bahwa RH Alit Prawatasari telah tewas. Pieter Scorpoi komandan pasukan VOC segera saja menawan dan menggiring seluruh warga Jampang yang mencapai 1354 orang untuk menjalani hukuman di Batavia melewati Cianjur.

Tujuan VOC tidak lain adalah untuk menghancurkan semangat dan kekuatan pengikut RH Alit Prawatasari. Penduduk Jampang yang berbaris sepanjang jalan itu sebagian besar tewas diperjalanan, yang tersisa hanyalah 582 orang dengan kondisi yang menyedihkan, mereka kemudian digiring terus menuju ke Bayabang.

Pada waktu itu sesungguhnya RH Alit Prawatasari tidak tewas melainkan sedang mengumpulkan wadya balad (pengikut) yang sangat besar, ia kemudian memimpin penyerbuan ke kabupaten priangan wetan (timur). Pada tahun 1705 RH Alit Prawatasari muncul lagi di Jampang dan kemudian mengepung sekeliling Batavia, pada sekitar Januari di dekat Bogor.

Dikarenakan VOC tak mampu menangkap RH Alit Prawatasari, tiga orang tokoh masyarakat yang ditangkap di Kampung Baru, Bogor dieksekusi mati oleh VOC. Pada bulan Maret RH Alit Prawatasari membuat kekacauan di Sumedang utara, kemudian pada Agustus 1705 RH Alit Prawatasari berhasil mengalahkan pasukan Belanda yang mencoba mengejar dan menangkapnya melalui tiga kali pertempuran.

Akibat kegagalan-kegalannya menangkap RH Alit Prawatasari, maka VOC menjatuhkan hukuman berat kepada siapa saja yang disangka membantu RH Alit Prawatasari, namun jumlah pengikutnya bukan berkurang malah semakin bertambah banyak karena rakyat bersimpati kepada perjuangannya.

Pihak Belanda lalu mengeluarkan ultimatum dan tenggat waktu selama enam bulan kepada para bupati di Tatar Sunda agar menangkap RH Alit Prawatasari. Pada tahun 1706 RH Alit Prawatasari meninggalkan Tatar Sunda menuju ke Jawa Tengah. RH Alit Prawatasari akhirnya tertangkap di Kartasura setelah ditipu oleh Belanda pada tangal 12 Juli 1707.

Makam pahlawan yang terlupakan ini terletak di Dayeuh Luhur, Cilacap. Penduduk setempat menyebutnya sebagai makam turunan Panjalu, makamnya ini sampai sekarang masih sering diziarahi oleh penduduk sekitar dan peziarah dari Ciamis [http://www.urangsunda.net].

Prabu Rahyang Kuning

Rahyang Kuning menggantikan Sanghyang Borosngora menjadi Raja Panjalu, akibat kesalahpahaman dengan adiknya yang bernama Rahyang Kancana sempat terjadi perseteruan yang akhirnya dapat didamaikan oleh Guru Aji Kampuh Jaya dari Cilimus. Rahyang Kuning kemudian mengundurkan diri dan menyerahkan tahta Panjalu kepada Rahyang Kancana.

Menurut Babad Panjalu, perselisihan ini dikenal dengan peristiwa Ranca Beureum. Peristiwa ini terjadi sewaktu Prabu Rahyang Kuning bermaksud menguras air Situ Lengkong untuk diambil ikannya (Sunda:ngabedahkeun). Rahyang Kuning mengutus patih kerajaan untuk menjemput sang ayah Sanghyang Borosngora di Jampang Manggung agar menghadiri acara itu. Namun karena Sanghyang Borosngora berhalangan, maka ia menunjuk Rahyang Kancana untuk mewakili sang ayah menghadiri acara tersebut.

Berhubung hari yang telah ditentukan untuk perayaan itu semakin dekat, Rahyang Kuning memerintahkan para abdinya untuk mulai membobol Situ Lengkong sambil menunggu kedatangan ayahnya, air pembuangannya dialirkan melalui daerah jalan Sriwinangun sekarang. Sang Prabu turun langsung memimpin para abdi dan rakyatnya berbasah-basahan di tengah cuaca dingin di pagi buta itu. Untuk sekedar menghangatkan badan, Rahyang Kuning menyalakan api unggun sambil berdiang menghangatkan telapak tangannya menghadap ke arah barat.

Pada saat yang bersamaan dari arah barat, sang adik Rahyang Kancana bersama rombongan pasukan pengawalnya tiba di sekitar daerah Sriwinangun yang akan dilewati dan terkejut mendapati Situ Lengkong telah mulai dikeringkan tanpa menunggu kedatangannya sebagai wakil sang ayah. Rahyang Kancana yang tersinggung lalu membendung saluran pembuangan air itu dengan tergesa-gesa. Akibatnya meskipun sudah dibendung, tetapi tempat itu masih dipenuhi rembesan air dan gundukan tanah tak beraturan sehingga sampai sekarang tempat itu dikenal dengan nama Cibutut (Bhs. Sunda: butut artinya jelek).

Rahyang Kuning yang tengah menghangatkan telapak tangannya menghadapi api unggun terkejut melihat kedatangan Rahyang Kancana bersama pasukan pengawalnya yang dipenuhi emosi. Sebaliknya Rahyang Kancana mengira kakaknya itu sedang menunggu untuk menantangnya adu kesaktian karena ia telah membendung air Situ Lengkong supaya tidak kering. Singkat cerita, akibat kesalahpahaman tersebut terjadilah duel pertarungan antara Rahyang Kancana bersama pasukan pengawalnya melawan Rahyang Kuning bersama pasukan pengawal kerajaan, akibat pertempuran itu banyak korban yang berjatuhan dari kedua belah pihak, akibatnya sebuah ranca (rawa atau danau dangkal) airnya menjadi berwarna merah oleh genangan darah sehingga sampai sekarang dikenal dengan nama Ranca Beureum (Bhs. Sunda: beureum artinya merah).

Perang saudara ini baru berakhir setelah didamaikan oleh Guru Aji Kampuhjaya, ulama kerajaan yang sangat dihormati sekaligus sahabat Prabu Sanghyang Borosngora. Rahyang Kuning yang menyesal karena telah menimbulkan perselisihan tersebut menyerahkan tahta Panjalu kepada Rahyang Kancana dan meninggalkan kaprabon lalu mengembara ke wilayah selatan Galuh.

Rahyang Kuning di akhir hayatnya menjadi Raja di Kawasen (Ciamis Selatan), jasadnya dibawa pulang ke Panjalu dan dimakamkan di Kapunduhan Cibungur, Desa Kertamandala, Kecamatan Panjalu.

Prabu Rahyang Kancana

Rahyang Kancana melanjutkan tahta Panjalu dari kakaknya, untuk melupakan peristiwa berdarah perang saudara di Ranca Beureum ia memindahkan kaprabon dari Nusa Larang ke Dayeuh Nagasari, sekarang termasuk wilayah Desa Ciomas Kecamatan Panjalu.

Rahyang Kancana mempunyai dua orang putera yaitu:

1) Rahyang Kuluk Kukunangteko, dan

2) Rahyang Ageung.

Prabu Rahyang Kancana setelah mangkat dipusarakan di Nusa Larang Situ Lengkong. Pusara Prabu Rahyang Kancana sampai sekarang selalu ramai didatangi para peziarah dari berbagai daerah di Indonesia.

Prabu Rahyang Kuluk Kukunangteko

Rahyang Kuluk Kukunangteko menggantikan Rahyang Kancana menduduki tahta Panjalu, ia didampingi oleh adiknya yang bernama Rahyang Ageung sebagai Patih Panjalu. Sang Prabu mempunyai seorang putera bernama Rahyang Kanjut Kadali Kancana. Pusara Rahyang Kuluk Kukunangteko terletak di Cilanglung, Simpar, Panjalu.

Prabu Rahyang Kanjut Kadali Kancana

Rahyang Kanjut Kadali Kancana menggantikan ayahnya sebagai Raja Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Rahyang Kadacayut Martabaya. Rahyang Kanjut Kadali Kancana setelah mangkat dipusarakan di Sareupeun Hujungtiwu, Panjalu.

Prabu Rahyang Kadacayut Martabaya

Rahyang Kadacayut Martabaya naik tahta menggantikan ayahnya, ia mempunyai seorang anak bernama Rahyang Kunang Natabaya. Rahyang Kadacayut Martabaya jasadnya dipusarakan di Hujungwinangun, Situ Lengkong Panjalu.

Prabu Rahyang Kunang Natabaya

Rahyang Kunang Natabaya menduduki tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia menikah dengan Nyai Apun Emas. Nyai Apun Emas adalah anak dari Nyai Tanduran di Anjung (Apun di Anjung) yang menikah dengan Prabu di Galuh Cipta Permana (15951608), jadi Apun Emas adalah saudari dari Bupati Galuh Adipati Panaekan (1608-1625). Sementara Nyai Tanduran di Anjung adalah puteri Maharaja Kawali.

Dari perkawinannya dengan Nyai Apun Emas, Prabu Rahyang Kunang Natabaya mempunyai tiga orang putera yaitu :

1) Raden Arya Sumalah,

2) Raden Arya Sacanata, dan

3) Raden Arya Dipanata (kelak diangkat menjadi Bupati Pagerageung oleh Mataram).

Pada masa kekuasaan Prabu Rahyang Kunang Natabaya ini, Panembahan Senopati (15861601) berhasil menaklukkan Cirebon beserta daerah-daerah bawahannya termasuk Panjalu. Pusara Prabu Rahyang Kunang Natabaya terletak di Ciramping, Desa Simpar, Panjalu.

Raden Arya Sumalah

Arya Sumalah naik tahta Panjalu bukan sebagai Raja, tapi sebagai Bupati di bawah kekuasaan Mataram. Ia menikah dengan Ratu Tilarnagara puteri dari Bupati Talaga yang bernama Sunan Ciburuy atau yang dikenal juga dengan nama Pangeran Surawijaya, dari pernikahannya itu Arya Sumalah mempunyai dua orang anak, yaitu:

1) Ratu Latibrangsari dan

2) Raden Arya Wirabaya.

Arya Sumalah setelah wafat dimakamkan di Buninagara Simpar, Panjalu.

Pangeran Arya Sacanata atau Pangeran Arya Salingsingan

Raden Arya Sumalah wafat dalam usia muda dan meninggalkan putera-puterinya yang masih kecil. Untuk mengisi kekosongan kekuasaan di Kabupaten Panjalu Raden Arya Sacanata diangkat oleh Sultan Agung (1613-1645) sebagai Bupati menggantikan kakaknya dengan gelar Pangeran Arya Sacanata.

Pangeran Arya Sacanata juga memperisteri Ratu Tilarnagara puteri Bupati Talaga Sunan Ciburuy yang merupakan janda Arya Sumalah. Pangeran Arya Sacanata mempunyai banyak keturunan, baik dari garwa padminya yaitu Ratu Tilarnagara maupun dari isteri-isteri selirnya (ada sekitar 20 orang anak), anak-anaknya itu dikemudian hari menjadi pembesar-pembesar di tanah Pasundan.

Dua belas diantara putera-puteri Pangeran Arya Sacanata itu adalah:

1) Raden Jiwakrama (Cianjur),

2) Raden Ngabehi Suramanggala,

3) Raden Wiralaksana (Tengger, Panjalu),

4) Raden Jayawicitra (Pamekaran, Panjalu),

5) Raden Dalem Singalaksana (Cianjur),

6) Raden Dalem Jiwanagara (Bogor),

7) Raden Arya Wiradipa (Maparah, Panjalu),

8) Nyi Raden Lenggang,

9) Nyi Raden Tilar Kancana,

10) Nyi Raden Sariwulan (Gandasoli, Sukabumi),

11) Raden Yudaperdawa (Gandasoli, Sukabumi), dan

12) Raden Ngabehi Dipanata.

Putera Sultan Agung, Sunan Amangkurat I (1645-1677) pada tahun 1656-1657 secara sepihak mencopot jabatan Pangeran Arya Sacanata sebagai Bupati Panjalu yang diangkat oleh Sultan Agung serta menghapuskan Kabupaten Panjalu dengan membagi wilayah Priangan menjadi 12 Ajeg; salah satunya adalah Ajeg Wirabaya yang meliputi wilayah Kabupaten Panjalu, Utama dan Bojonglopang serta dikepalai oleh keponakan sekaligus anak tirinya yaitu Raden Arya Wirabaya sehingga membuat Pangeran Arya Sacanata mendendam kepada Mataram.

Suatu ketika Pangeran Arya Sacanata ditunjuk oleh mertuanya yang juga Bupati Talaga Sunan Ciburuy untuk mewakili Talaga mengirim seba (upeti) ke Mataram. Pada kesempatan itu Pangeran Arya Sacanata menyelinap ke peraduan Sinuhun Mataram dan mempermalukanya dengan memotong sebelah kumisnya sehingga menimbulkan kegemparan besar di Mataram. Segera saja Pangeran Arya Sacanata menjadi buruan pasukan Mataram, namun hingga akhir hayatnya Pangeran Arya Sacanata tidak pernah berhasil ditangkap oleh pasukan Mataram sehingga ia mendapat julukan Pangeran Arya Salingsingan (dalam Bahasa Sunda kata “salingsingan” berarti saling berpapasan tapi tidak dikenali).

Pangeran Arya Sacanata menghabiskan hari tuanya dengan meninggalkan kehidupan keduniawian dan memilih hidup seperti petapa mengasingkan diri di tempat-tempat sunyi di sepanjang hutan pegunungan dan pesisir Galuh. Mula-mula ia mendirikan padepokan di Gandakerta sebagai tempatnya berkhalwat (menyepi), Sang Pangeran kemudian berkelana ke Palabuhan Ratu, Kandangwesi, Karang, Lakbok, kemudian menyepi di Gunung Sangkur, Gunung Babakan Siluman, Gunung Cariu, Kuta Tambaksari dan terakhir di Nombo, Dayeuhluhur. Pangeran Arya Sacanata wafat dan dipusarakan di Nombo, Kecamatan Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

Raden Arya Wirabaya

Sewaktu Sunan Amangkurat I berkuasa (1645-1677) pada sekitar tahun 1656-1657 wilayah Mancanagara Kilen (Mataram Barat) dibagi menjadi dua belas Ajeg (daerah setingkat kabupaten) serta menghapuskan jabatan Wedana Bupati Priangan, keduabelas Ajeg itu adalah: Sumedang, Parakan Muncang (Bandung Timur), Bandung, Sukapura (Tasikmalaya), Karawang, Imbanagara (Ciamis), Kawasen (Ciamis Selatan), Wirabaya (Ciamis Utara termasuk Kabupaten Panjalu, Utama dan Bojonglopang), Sindangkasih (Majalengka), Banyumas, Ayah/Dayeuhluhur (Kebumen, Cilacap) dan Banjar (Ciamis Timur).

Pada waktu itulah Arya Wirabaya diangkat oleh Sunan Amangkurat I menjadi Kepala Ajeg Wirabaya sekaligus menggantikan Pangeran Arya Sacanata yang tidak lagi menjabat Bupati karena Kabupaten Panjalu telah dihapuskan dan dimasukkan kedalam Ajeg Wirabaya.

Arya Wirabaya mempunyai seorang putera yang bernama Raden Wirapraja, setelah wafat jasad Arya Wirabaya dimakamkan di Cilamping, Panjalu, Ciamis

Raden Tumenggung Wirapraja

Raden Wirapraja menggantikan ayahnya menjadi Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Wirapraja. Pada masa pemerintahannya kediaman bupati dipindahkan dari Dayeuh Nagasari, Ciomas ke Dayeuh Panjalu sekarang.

Tumenggung Wirapraja setelah mangkat dimakamkan di Kebon Alas Warudoyong, Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Ciamis.

Raden Tumenggung Cakranagara I

Salah seorang putera Pangeran Arya Sacanata yang bernama Arya Wiradipa memperisteri Nyi Mas Siti Zulaikha puteri Tandamui dari Cirebon, ia bersama kerabat dan para kawula-balad (abdi dan rakyatnya) dari keraton Talaga mendirikan pemukiman yang sekarang menjadi Desa Maparah, Panjalu. Dari pernikahannya itu Arya Wiradipa mempunyai empat orang anak, yaitu:

1) Raden Ardinata,

2) Raden Cakradijaya,

3) Raden Prajasasana, dan

4) Nyi Raden Ratna Gapura.

Raden Prajasasana yang setelah dewasa dikenal juga dengan nama Raden Suragostika mengabdi sebagai pamong praja bawahan Pangeran Arya Cirebon (1706-1723) yang menjabat sebagai Opzigter (Pemangku Wilayah) VOC untuk wilayah Priangan (Jawa Barat) dan bertugas mengepalai dan mengatur para bupati Priangan. Raden Suragostika yang dianggap berkinerja baik dan layak menduduki jabatan bupati kemudian diangkat oleh Pangeran Arya Cirebon menjadi Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara menggantikan Tumenggung Wirapraja.

Tumenggung Cakranagara I memperisteri Nyi Raden Sojanagara puteri Ratu Latibrang Sari (kakak Arya Wirabaya) sebagai garwa padmi (permaisuri) dan menurunkan tiga orang putera, yaitu:

1) Raden Cakranagara II,

2) Raden Suradipraja, dan

3) Raden Martadijaya.

Sementara dari garwa ampil (isteri selir) Tumenggung Cakranagara I juga mempunyai empat orang puteri, yaitu:

1) Nyi Raden Panatamantri,

2) Nyi Raden Widaresmi.

3) Nyi Raden Karibaningsih, dan

4) Nyi Raden Ratnaningsih.

Tumenggung Cakranagara I setelah wafat dimakamkan di Cinagara, Desa Simpar, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis.

<!–[if !supportLists]–>§ <!–[endif]–>Raden Tumenggung Cakranagara II

Raden Cakranagara II menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara II, sedangkan adiknya yang bernama Raden Suradipraja diangkat menjadi Patih Panjalu dengan gelar Raden Demang Suradipraja.

Tumenggung Cakranagara II mempunyai enam belas orang anak dari garwa padmi dan isteri selirnya, keenambelas putera-puterinya itu adalah:

1) Nyi Raden Wijayapura,

2) Nyi Raden Natakapraja,

3) Nyi Raden Sacadinata,

4) Raden Cakradipraja,

5) Raden Ngabehi Angreh,

6) Raden Dalem Cakranagara III,

7) Nyi Raden Puraresmi,

8) Nyi Raden Adiratna,

9) Nyi Raden Rengganingrum,

10) Nyi Raden Janingrum,

11) Nyi Raden Widayaresmi,

12) Nyi Raden Murdaningsih,

13) Raden Demang Kertanata,

14) Raden Demang Argawijaya,

15) Nyi Raden Adipura, dan

16) Nyi Raden Siti Sarana.

Tumenggung Cakranagara II setelah wafat dimakamkan di Puspaligar, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis.

<!–[if !supportLists]–>§ <!–[endif]–>Raden Tumenggung Cakranagara III

Raden Cakranagara III sebagai putera tertua dari garwa padmi (permaisuri) menggantikan posisi ayahnya sebagai Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara III.

Pada tahun 1819 ketika Pemerintah Hindia-Belanda dibawah pimpinan Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. Baron Van der Capellen (1816-1836) dikeluarkanlah kebijakan untuk menggabungkan Kabupaten Panjalu dan Kabupaten Kawali kedalam Kabupaten Galuh. Berdasarkan hal itu maka Tumenggung Cakranagara III dipensiunkan dari jabatannya sebagai Bupati Panjalu dan sejak itu Panjalu menjadi kademangan (daerah setingkat wedana) di bawah Kabupaten Galuh.

Pada tahun itu Bupati Galuh Wiradikusumah digantikan oleh puteranya yang bernama Adipati Adikusumah (1819-1839), sedangkan di Panjalu pada saat yang bersamaan putera tertua Tumenggung Cakranagara III yang bernama Raden Sumawijaya diangkat menjadi Demang (Wedana) Panjalu dengan gelar Raden Demang Sumawijaya, sementara itu putera ketujuh Tumenggung Cakranagara III yang bernama Raden Cakradikusumah diangkat menjadi Wedana Kawali dengan gelar Raden Arya Cakradikusumah.

Tumenggung Cakranagara III mempunyai dua belas orang putera-puteri, yaitu:

1) Raden Sumawijaya (Demang Panjalu),

2) Raden Prajasasana Kyai Sakti (Nusa Larang, Panjalu),

3) Raden Aldakanata,

4) Raden Wiradipa,

5) Nyi Raden Wijayaningrum,

6) Raden Jibjakusumah,

7) Raden Cakradikusumah (Wedana Kawali),

8) Raden Cakradipraja,

9) Raden Baka,

10) Nyi Raden Kuraesin,

11) Raden Raksadipraja (Kuwu Ciomas, Panjalu), dan

12) Raden Prajadinata (Kuwu Maparah, Panjalu).

Tumenggung Cakranagara III wafat pada tahun 1853 dan dipusarakan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu berdekatan dengan pusara Prabu Rahyang Kancana putera Prabu Sanghyang Borosngora.

<!–[if !supportLists]–>§ <!–[endif]–>Raden Demang Sumawijaya

Raden Sumawijaya pada tahun 1819 diangkat menjadi Demang Panjalu dengan gelar Raden Demang Sumawijaya. Adiknya yang bernama Raden Cakradikusumah pada waktu yang berdekatan juga diangkat menjadi Wedana Kawali dengan gelar Raden Arya Cakradikusumah. Demang Sumawijaya mempunyai tiga orang anak, yaitu:

1) Raden Aldakusumah,

2) Nyi Raden Asitaningsih, dan

3) Nyi Raden Sumaningsih.

Demang Sumawijaya setelah wafat dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu.

<!–[if !supportLists]–>§ <!–[endif]–>Raden Demang Aldakusumah

Raden Aldakusumah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Demang Panjalu dengan gelar Raden Demang Aldakusumah, ia mempunyai empat orang anak, yaitu:

1) Raden Kertadipraja (Rumalega, Panjalu),

2) Nyi Raden Wijayaningsih,

3) Nyi Raden Kasrengga (Rumalega, Panjalu), dan

4) Nyi Raden Sukarsa Karamasasmita (Rumalega, Panjalu).

Semantara itu adik sepupunya yang bernama Raden Argakusumah (putera Wedana Kawali Raden Arya Cakradikusumah) diangkat menjadi Bupati Dermayu (sekarang Indramayu) dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara IV. Raden Demang Aldakusumah dan Raden Tumenggung Argakusumah (Cakranagara IV) setelah wafatnya dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu.

Putera tertua Demang Aldakusumah yang bernama Raden Kertadipraja tidak lagi menjabat sebagai Demang Panjalu karena Panjalu kemudian menjadi salah satu wilayah kecamatan di Kabupaten Galuh, sementara ia sendiri tidak bersedia diangkat menjadi Kuwu (Kepala Desa ) Panjalu. Pada tahun 1915 Kabupaten Galuh berganti nama menjadi Kabupaten Ciamis.

SITU LENGKONG PANJALU

Situ Lengkong sekarang termasuk kedalam wilayah Desa/Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Dalam Bahasa Sunda; kata situ artinya danau. Situ Lengkong atau dikenal juga dengan Situ Panjalu terletak di ketinggian 700 m dpl. Di tengah danau tersebut terdapat sebuah pulau yang dinamai Nusa Larang atau Nusa Gede atau ada juga yang menyebutnya sebagai Nusa Panjalu. Menurut legenda rakyat dan Babad Panjalu, Situ Lengkong adalah sebuah danau buatan, sebelumnya daerah ini adalah kawasan legok (bhs. Sunda : lembah) yang mengelilingi bukit bernama Pasir Jambu (Bhs. Sunda: pasir artinya bukit).

Ketika Sanghyang Borosngora pulang menuntut ilmu dari tanah suci Mekkah, ia membawa cinderamata yang salah satunya berupa air zamzam yang dibawa dalam gayung batok kelapa berlubang-lubang (gayung bungbas). Air zamzam itu ditumpahkan ke dalam lembah dan menjadi cikal-bakal atau induk air Situ Lengkong. Bukit yang ada di tengah lembah itu menjelma menjadi sebuah pulau dan dinamai Nusa Larang, artinya pulau terlarang atau pulau yang disucikan, sama halnya seperti kota Mekkah yang berjuluk tanah haram yaitu tanah terlarang atau tanah yang disucikan; artinya tidak sembarang orang boleh masuk dan terlarang berbuat hal yang melanggar pantangan atau hukum di kawasan itu.

Pada masa pemerintahan Prabu Sanghyang Borosngora, pulau ini dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Panjalu. Di Nusa Larang ini bersemayam juga jasad tokoh-tokoh Kerajaan Panjalu yaitu Prabu Rahyang Kancana, Raden Tumenggung Cakranagara III, Raden Demang Sumawijaya, Raden Demang Aldakusumah, Raden Tumenggung Argakusumah (Cakranagara IV) dan Raden Prajasasana Kyai Sakti.

Situ Lengkong memiliki luas kurang lebih 67,2 hektare, sedangkan Nusa Larang mempunyai luas sekitar 16 hektare. Pulau ini telah ditetapkan sebagai cagar alam sejak tanggal 21 Februari 1919. Nusa Larang ini pada jaman Kolonial Belanda dinamai juga Pulau Koorders sebagai bentuk penghargaan kepada Dr Koorders, seorang pendiri sekaligus ketua pertama Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming, yaitu sebuah perkumpulan perlindungan alam Hindia Belanda yang didirikan tahun 1863.

Sebagai seorang yang menaruh perhatian besar pada botani, Koorders telah memelopori pencatatan berbagai jenis pohon yang ada di Pulau Jawa. Pekerjaannya mengumpulkan herbarium tersebut dilakukan bersama Th Valeton, seorang ahli botani yang membantu melakukan penelitian ilmiah komposisi hutan tropika.

Koorders dan rekannya itu pada akhirnya berhasil memberikan sumbangan pada dunia ilmu pengetahuan. Berkat kerja kerasnya kemudian terlahir buku Bijdragen tot de Kennis der Boomsoorten van Java, sebuah buku yang memberi sumbangan pengetahuan tentang pohon-pohon yang tumbuh di Pulau Jawa.

Sebagai cagar alam, Nusa Larang memiliki vegetasi hutan primer yang relatif masih utuh dan tumbuh secara alami. Di sana terdapat beberapa jenis flora seperti Kondang (Ficus variegata), Kileho (Sauraula Sp), dan Kihaji (Dysoxylum). Di bagian pulau yang lebih rendah tumbuh tanaman Rotan (Calamus Sp), Tepus (Zingiberaceae), dan Langkap (Arenga).

Sedangkan fauna yang hidup di pulau itu antara lain adalah Tupai (Calosciurus nigrittatus), Burung Hantu (Otus scop), dan Kelelawar (Pteropus vampyrus).

NYANGKU DI PANJALU

Nyangku adalah suatu rangkaian prosesi adat penyucian benda-benda pusaka peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora dan para Raja serta Bupati Panjalu penerusnya yang tersimpan di Pasucian Bumi Alit.

Upacara Nyangku ini dilaksanakan pada Hari Senin atau Kamis terakhir Bulan Maulud (Rabiul Awal), pada prosesi ini benda-benda pusaka itu dikeluarkan dari tempat penyimpanannya di Pasucian Bumi Alit lalu dikirabkan menuju Nusa Larang Situ Lengkong. Sesampainya di Nusa Larang, arak-arakan melakukan ritual pembacaan doa bagi arwah leluhur Panjalu untuk menghormati jasa-jasa mereka di hadapan pusara Prabu Rahyang Kancana.

Setelah itu, benda-benda pusaka diarak kembali ke Alun-alun Panjalu untuk disucikan lalu disimpan kembali di Pasucian Bumi Alit. Tradisi Nyangku ini mirip dengan upacara Sekaten di Yogyakarta juga Panjang Jimat di Cirebon, hanya saja selain untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, acara Nyangku juga dimaksudkan untuk mengenang jasa Prabu Sanghyang Borosngora yang telah menyampaikan ajaran Islam kepada rakyat dan keturunannya.

Tradisi Nyangku ini konon telah dilaksanakan sejak jaman pemerintahan Prabu Sanghyang Borosngora, pada waktu itu, Sang Prabu menjadikan prosesi adat ini sebagai salah satu media Syiar Islam bagi rakyat Panjalu dan sekitarnya.

BUMI ALIT PANJALU

Pasucian Bumi Alit atau lebih populer disebut Bumi Alit saja, mulai dibangun sebagai tempat penyimpanan pusaka peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora oleh Prabu Rahyang Kancana di Dayeuh Nagasari, Ciomas. Kata-kata bumi alit dalam Bahasa Sunda berarti “rumah kecil” .

Benda-benda pusaka yang tersimpan di Bumi Alit itu antara lain adalah:

1. Pedang, cinderamata dari Baginda Ali RA, sebagai senjata yang digunakan untuk pembela diri dalam rangka menyebarluaskan agama Islam.

2. Cis, sebagai kelengkapan dalam berdakwah atau berkhutbah dalam rangka menyebarluaskan ajaran agama Islam.

3. Keris Komando, senjata yang digunakan oleh Raja Panjalu sebagai penanda kedudukan bahwa ia seorang Raja Panjalu.

4. Keris, sebagai pegangan para Bupati Panjalu.

5. Pancaworo, digunakan sebagai senjata perang pada zaman dahulu.

6. Bangreng, digunakan sebagai senjata perang pada zaman dahulu.

7. Gong kecil, digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan rakyat pada zaman dahulu.

8. Kujang, senjata perang khas Sunda peninggalan seorang petapa sakti bernama Pendita Gunawisesa Wiku Trenggana (Aki Garahang) yang diturunkan kepada para Raja Panjalu.

Pada awalnya Bumi Alit berupa taman berlumut yang dibatasi dengan batu-batu besar serta dilelilingi dengan pohon Waregu. Bangunan Bumi Alit berbentuk mirip lumbung padi tradisional masyarakat Sunda berupa rumah panggung dengan kaki-kaki yang tinggi, rangkanya terbuat dari bambu dan kayu berukir dengan dinding terbuat dari bilik bambu sedangkan atapnya berbentuk seperti pelana terbuat dari ijuk.

Pada masa pemerintahan Raden Tumenggung Wirapraja bangunan Bumi Alit dipindahkan dari Dayeuh Nagasari, Ciomas ke Dayeuh Panjalu seiring dengan perpindahan kediaman Bupati Tumenggung Wirapraja ke Dayeuh Panjalu. Pasucian Bumi Alit dewasa ini terletak di Kebon Alas, Alun-alun Panjalu.

Ketika di Jawa Barat berkecamuk pemberontakan DI/TII S.M. Kartosuwiryo (1949-1962) yang marak dengan perampokan, pembantaian dan pembakaran rumah penduduk oleh para pemberontak, benda-benda pusaka yang tersimpan di Pasucian Bumi Alit itu diselamatkan ke kediaman sesepuh tertua keluarga Panjalu yaitu Raden Hanafi Argadipradja, cucu Raden Demang Aldakusumah di Kebon Alas, Panjalu.

Pada tahun 1955, Bumi Alit dipugar oleh warga dan sesepuh Panjalu yang bernama R.H. Sewaka (M. Sewaka) mantan Gubernur Jawa Barat (1947-1948, 1950-1952). Hasil pemugaran itu menjadikan bentuk bangunan Bumi Alit yang sekarang, berupa campuran bentuk mesjid jaman dahulu dengan bentuk modern, beratap susun tiga. Di pintu masuk Museum Bumi Alit terdapat patung ular bermahkota dan di pintu gerbangnya terdapat patung kepala gajah. Hingga kini, pemeliharaan Museum Bumi Alit dilakukan oleh Pemerintah Desa Panjalu yang terhimpun dalam ‘Wargi Panjalu’ di bawah pengawasan Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Ciamis.

posted by Fajar dwi herdiyan

Buat Mohchamad firaz Aulia dan Sarah Jasmine Shafinna

September 10, 2009 Posted by | BABAK VII Sejarah Panjalu | 11 Comments

BABAK VI Runtuhnya Sunda – Galuh

Penyebaran Islam secara serentak dan menyeluruh di tatar Sunda sesungguhnya dimulai sejak Syarif Hidayatullah (1448-1568) diangkat sebagai penguasa Cirebon oleh Pangeran Cakrabuana bergelar Gusti Susuhunan Jati dan menyatakan melepaskan diri dari Kemaharajaan Sunda dengan menghentikan pengiriman upeti pada tahun 1479. Peristiwa ini terjadi ketika wilayah Sunda dipimpin oleh Sang Haliwungan Prabu Susuktunggal (1475-1482) di Pakwan Pajajaran dan Ningrat Kancana Prabu Dewa Niskala (1475-1482) di Kawali. Jauh sebelum itu, para pemeluk agama Islam hanya terkonsentrasi di daerah-daerah pesisir atau pelabuhan yang penduduknya banyak melakukan interaksi dengan para saudagar atau pedagang dari Gujarat, Persia dan Timur Tengah.

Puteri Prabu Susuktunggal yang bernama Nay Kentring Manik Mayang Sunda kemudian dinikahkan dengan putera Prabu Dewa Niskala yang bernama Jayadewata. Jayadewata kemudian dinobatkan sebagai penguasa Pakwan Pajajaran dan Kawali bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, dengan demikian maka seperti juga mendiang kakeknya yang bernama Niskala Wastu Kancana ia menyatukan Pakwan Pajajaran (Sunda) dan Kawali (Galuh) dalam satu mahkota Maharaja Sunda.

Sri Baduga Maharaja juga memindahkan ibokota Sunda dari Kawali ke Pakwan Pajajaran, meskipun hal ini bukan kali pertama ibukota Kemaharaajaan Sunda berpindah antara Sunda dan Galuh, namun salah satu alasan perpindahan ibukota negara ini diduga kuat sebagai antisipasi semakin menguatnya kekuasaan Demak dan Cirebon.

Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (14811521) kerajaan-kerajaan yang masih mengirimkan upetinya ke Pakwan Pajajaran adalah Galunggung, Denuh, Talaga, Geger Bandung, Windu Galuh, Malaka, Mandala, Puma, Lewa dan Kandangwesi (Pleyte, 1911:172). Akan tetapi hal itu tidak bertahan lama karena satu persatu daerah bawahan Sunda itu ditaklukan Cirebon.

Raja Talaga Sunan Parunggangsa ditaklukkan Cirebon pada tahun 1529 dan kemudian bersama puterinya Ratu Sunyalarang, juga menantunya Ranggamantri Pucuk Umun secara sukarela memeluk Islam. Di Sumedang Larang Ratu Setyasih atau Ratu Inten Dewata atau Ratu Pucuk Umun (15301579) mengakui kekuasaan Cirebon dan memeluk Islam.

Di Kerajaan Kuningan Ratu Selawati menyerah kepada pasukan Cirebon, salah seorang puterinya kemudian dinikahkan dengan anak angkat Gusti Susuhunan Jati yang bernama Suranggajaya, Suranggajaya kemudian diangkat menjadi Bupati Kuningan bergelar Sang Adipati Kuningan karena Kuningan menjadi bagian dari Cirebon.

Di kerajaan Galuh, penguasa Galuh yang bernama Ujang Meni bergelar Maharaja Cipta Sanghyang di Galuh berusaha mempertahankan wilayahnya dari serbuan pasukan Cirebon, tapi karena kekuatan yang tidak seimbang maka ia bersama puteranya yang bernama Ujang Ngekel yang kemudian naik tahta Galuh bergelar Prabu di Galuh Cipta Permana (1595-1608) juga mau tak mau harus mengakui kekuasaan Cirebon serta akhirnya memeluk Islam dengan sukarela. Demikian juga yang terjadi di Kerajaan Sindangkasih (Majalengka). Berdasarkan rentetan peristiwa-peristiwa yang terjadi di kerajaan-kerajaan tetangganya tersebut, maka diperkirakan pada periode yang bersamaan Kerajaan Panjalu juga menjadi taklukan Cirebon dan menerima penyebaran Islam.

Kemaharajaan Sunda sendiri posisinya semakin lama semakin terjepit oleh kekuasaan Cirebon-Demak di sebelah timur dan Banten di sebelah barat. Pada tahun 1579 pasukan koalisi Banten-Cirebon dipimpin oleh Sultan Banten Maulana Yusuf berhasil mengalahkan pertahanan terakhir pasukan Sunda, kaprabon dan ibukota Kemaharajaan Sunda yaitu Pakwan Pajajaran berhasil diduduki, benda-benda yang menjadi simbol Kemaharajaan Sunda diboyong ke Banten termasuk batu singgasana penobatan Maharaja Sunda berukuran 200cm x 160cm x 20cm yang bernama Palangka Sriman Sriwacana (orang Banten menyebutnya Watu Gilang atau batu berkilau) . Akibat peristiwa ini, Prabu Ragamulya Surya Kancana (1567-1579) beserta seluruh anggota keluarganya menyelamatkan diri dari kaprabon yang menandai berakhirnya Kemaharajaan Sunda.

Menurut sumber sejarah Sumedang Larang, ketika peristiwa itu terjadi empat orang kepercayaan Prabu Ragamulya Surya Kancana yang dikenal dengan Kandaga Lante yang terdiri dari Sanghyang Hawu (Jayaperkosa), Batara Adipati Wiradijaya (Nangganan), Sanghyang Kondanghapa dan Batara Pancar Buana (Terong Peot) berhasil menyelamatkan atribut pakaian kebesaran Maharaja Sunda yang terdiri dari mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pakwan, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu. Atribut-atribut kebesaran tersebut kemudian diserahkan kepada Raden Angkawijaya putera Ratu Inten Dewata (1530-1579) yang kemudian naik tahta Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1579-1601).

Dengan Berakhirnya Kemaharajaan Sunda-Galuh  (723-1579), wilayah Jawa Barat terbagi menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang pada mulanya merupakan bawahan Sunda. Kerajaan-kerajaan yang masih saling berhubungan darah itu tidak lepas dari pengaruh kekuasaan Cirebon dan Banten yang berada pada puncak kejayaannya. Kerajaan-kerajaan itu merupakan kerajaan yang mandiri dan dipimpin oleh seorang bergelar Prabu, Sanghyang, Rahyang, Hariang, Pangeran ataupun Sunan, akan tapi mereka mengakui kekuasaan Cirebon dan Banten. Dua kerajaan bawahan Sunda yang paling luas wilayahnya adalah Sumedang Larang dan Galuh yang masing-masing dianggap sebagai penerus Kemaharajaan Sunda.

Pada tahun 1595 Sutawijaya atau Panembahan Senopati (15861601) memperluas wilayah kekuasaan Mataram ke wilayah Jawa Barat sehingga berhasil menaklukkan Cirebon dan kemudian menduduki daerah-daerah sekitarnya yang meliputi wilayah Jawa Barat kecuali Banten dan Jayakarta (Batavia). Untuk mempererat hubungan Mataram-Cirebon ini, Senopati menikahkan salah seorang saudarinya bernama Ratu Harisbaya dengan pengusasa Cirebon waktu itu, Panembahan Ratu (15701649).

Panembahan Senopati digantikan puteranya yaitu Mas Jolang yang naik tahta sebagai Prabu Hanyokrowati (1601-1613), Prabu Hanyokrowati lalu digantikan oleh puteranya yang bernama Mas Rangsang, naik tahta Mataram sebagai Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645).

Pada tahun 1618 Sultan Agung mengangkat putera Prabu di Galuh Cipta Permana yang bernama Ujang Ngoko bergelar Adipati Panaekan (1608-1625) sebagai Wedana Bupati yang mengepalai Bupati-bupati Priangan. Adipati Panaekan juga merangkap sebagai Bupati Galuh yang menggantikan ayahnya Prabu di Galuh karena Galuh bukan lagi sebuah kerajaan melainkan sebuah kabupaten dibawah Kesultanan Mataram.

Priangan sendiri berasal dari kata parahyangan yang berarti tempat para hyang (dewata), suatu sebutan bagi wilayah bekas Kemaharajaan Sunda yang sebelumnya menganut agama Hindu, selain itu raja-raja Sunda sering memakai gelar hyang atau sanghyang yang artinya dewa.

Peristiwa pendudukan Mataram ini di Panjalu diperkirakan terjadi pada masa pemerintaha Prabu Rahyang Kunang Natabaya karena puteranya yaitu Raden Arya Sumalah tidak lagi memakai gelar Prabu seperti ayahnya, hal ini menunjukkan bahwa Panjalu juga sudah menjadi salah satu kabupaten di bawah Mataram.

Pada tahun 1620 Arya Suryadiwangsa menyerahkan kekuasaannya atas Sumedang Larang kepada Mataram, Sultan Agung kemudian mengangkat Arya Suryadiwangsa (1601-1624) sebagai Bupati Sumedang Larang bergelar Pangeran Rangga Gempol Kusumahdinata. Pada tahun 1624 Rangga Gempol ditunjuk sebagai panglima pasukan Mataram utuk menaklukkan daerah Sampang, Madura. Oleh karena itu jabatan Bupati Sumedang Larang dipegang adiknya yang bernama Pangeran Rangga Gede (1624-1633) sekaligus merangkap sebagai Wedana Bupati Priangan menggantikan Adipati Panaekan.

Pada waktu itu Sultan Agung tengah menyiapkan serangan besar-besaran untuk merebut Benteng Batavia dari tangan Kompeni Belanda dan meminta para bupati Priangan menunjukkan kesetiaannya dengan mengirimkan pasukan gabungan untuk menggempur Batavia. Rencana Sultan Agung ini menimbulkan perbedaan pendapat diantara para bupati Priangan, tahun 1625 Adipati Panaekan yang berselisih paham dengan Bupati Bojonglopang bernama Adipati Kertabumi (Singaperbangsa) tewas di tangan adik iparnya itu. Kedudukan mendiang Adipati Panaekan sebagai Bupati Galuh lalu digantikan oleh puteranya yang bernama Ujang Purba bergelar Adipati Imbanagara (1625-1636).

Pangeran Rangga Gede sebagai Wedana Bupati Priangan oleh Sultan Agung dianggap tidak mampu mengatasi serangan-serangan Banten di daerah perbatasan sekitar Sungai Citarum yang saling bersaing berebut pengaruh dengan Mataram, oleh karena itu kedudukan Wedana Bupati Priangan pada tahun 1628 digantikan oleh Bupati Bandung bernama Adipati Ukur, sedangkan Rangga Gede dijebloskan ke dalam tahanan.

Adipati Ukur juga sekaligus diangkat menjadi Panglima pasukan Mataram yang terdiri dari gabungan pasukan kabupaten-kabupaten bawahan Mataram di Priangan untuk merebut Benteng Batavia dari VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie atau Perkumpulan Dagang India Timur) yang dipimpin Gubernur Jan Pieterszoon Coen (1619-1623 dan 1627-1629). Setiap Kabupaten mengirimkan kontingen pasukannya dalam penyerbuan itu dan pemimpin kontingen pasukan dari Galuh adalah Bagus Sutapura.

Sejarah mencatat bahwa Adipati Ukur bersama pasukannya itu ternyata tidak berhasil merebut Batavia, oleh karena kegagalannya itu Sultan Agung menjatuhkan hukuman mati kepada Adipati Ukur. Akibatnya Adipati Ukur berbalik memberontak terhadap Mataram (1628-1632). Perlawanan Adipati Ukur baru berhasil dihentikan setelah Mataram mendapatkan bantuan Ki Wirawangsa dari Umbul Sukakerta, Ki Astamanggala dari Umbul Cihaurbeuti dan Ki Somahita dari Umbul Sindangkasih.

Atas jasa-jasa mereka memadamkan pemberontakan Adipati Ukur itu, pada tahun 1633 Sultan Agung mengangkat Ki Wirawangsa menjadi Bupati Sukapura dengan Gelar Tumenggung Wiradadaha, Ki Astamanggala menjadi Bupati Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangun-angun, dan Ki Somahita menjadi Bupati Parakan Muncang dengan gelar Tumenggung Tanubaya. Bagus Sutapura yang juga berjasa kepada Mataram diangkat sebagai Bupati Kawasen.

Sementara itu Bupati Galuh Adipati Imbanagara dijatuhi hukum mati oleh Sultan Agung karena dianggap terlibat dalam pemberontakan Adipati Ukur. Jabatan Wedana Bupati Priangan kemudian dikembalikan kepada Pangeran Rangga Gede sekaligus menjabat sebagai Bupati Sumedang Larang.

Sewaktu tahta Mataram dipegang oleh putera Sultan Agung yaitu Sunan Amangkurat I (1645-1677), antara tahun 1656-1657 jabatan Wedana Bupati Priangan dihapuskan dan wilayah Mataram Barat (Priangan) dibagi menjadi 12 Ajeg (daerah setingkat kabupaten) yaitu: Sumedang, Parakan Muncang (Bandung Timur), Bandung, Sukapura (Tasikmalaya), Karawang, Imbanagara (Ciamis), Kawasen (Ciamis Selatan), Wirabaya (Ciamis Utara termasuk wilayah Kabupaten Panjalu, Utama dan Bojonglopang), Sindangkasih (Majalengka), Banyumas, Ayah/Dayeuhluhur (Kebumen, Cilacap), dan Banjar (Ciamis Timur). Pada waktu itu Raden Arya Wirabaya keponakan Bupati Panjalu Pangeran Arya Sacanata diangkat menjadi kepala Ajeg Wirabaya.

Pada tahun 1677 Sunan Amangkurat II (1677-1703) menyerahkan wilayah Priangan barat dan tengah kepada VOC sebagai imbalan atas bantuan VOC dalam usaha menumpas pemberontakan Trunajaya, menyusul kemudian pada tahun 1705 Cirebon beserta Priangan Timur juga diserahkan Pakubuwana I kepada VOC pasca perselisihan antara Amangkurat III dengan sang paman Pangeran Puger atau Pakubuwana I (1704-1719).

September 10, 2009 Posted by | BABAK VI Runtuhnya Sunda-Galuh | Leave a comment

BABAK V Lahirnya Kerajaan Galuh

Berdirinya kerajaan Galuh#Pembagian Tarumanagara

 

Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa, di tahun 669 M menggantikan kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman raja Tarumanagara yang terakhir. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh dan masih keluarga kerajaan Tarumanegara, untuk memisahkan diri dari kekuasaan Tarusbawa.

Dengan dukungan Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya wilayah Tarumanagara dipecah dua. Dukungan ini dapat terjadi karena putera mahkota Galuh bernama Mandiminyak, berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Shima dari Kalingga. Dalam posisi lemah dan ingin menghindari perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Di tahun 670 M, wilayah Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan; yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.

#Lokasi ibukota Sunda

Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru di daerah pedalaman dekat hulu Sungai Cipakancilan.[1] Dalam Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakal-bakal raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M.

Sunda sebagai nama kerajaan tercatat dalam dua buah prasasti batu yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Kehadiran Prasasti Jayabupati di daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda terletak di daerah itu. Namun dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah lainnya. Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada bagian Sungai Cicatih yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama halnya dengan kehadiran batu bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidak menunjukkan letak ibukota Tarumanagara.

#Keterlibatan Kalingga

Karena putera mahkota wafat mendahului Tarusbawa, maka anak wanita dari putera mahkota (bernama Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli waris kerajaan. Suami puteri ini adalah cicit Wretikandayun bernama Rakeyan Jamri, yang dalam tahun 723 menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda ke-2. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan setelah menguasai Kerajaan Galuh dikenal dengan nama Sanjaya.

Sebagai ahli waris Kalingga, Sanjaya kemudian juga menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram (Mataram Kuno) dalam tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Ia adalah kakak seayah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara.

Prasasti Jayabupati

#Isi prasasti

Telah diungkapkan di awal bahwa nama Sunda sebagai kerajaan tersurat pula dalam prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi. Prasasti ini terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan empat (4) buah batu untuk menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan pada aliran Sungai Cicatih di daerah Cibadak, Sukabumi. Tiga ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang, sebuah ditemukan di dekat Kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini adalah disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno. Keempat prasasti itu sekarang disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte):

D 73 :
//O// Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri jayabhupati jayamana- hen wisnumurtti samarawijaya shaka-labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana wikra-mottunggadewa, ma-

D 96 :
gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan hanani baryya baryya shila. irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah. Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken pra-sasti pagepageh. mangmang sapatha.

D 97 :
sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan.

Terjemahan isi prasasti, adalah sebagai berikut:

Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.

Sumpah yang diucapkan oleh Raja Sunda lengkapnya tertera pada prasasti keempat (D 98). Terdiri dari 20 baris, intinya menyeru semua kekuatan gaib di dunia dan disurga agar ikut melindungi keputusan raja. Siapapun yang menyalahi ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya dan membelah dadanya. Sumpah itu ditutup dengan kalimat seruan, I wruhhanta kamung hyang kabeh (ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).

#Tanggal prasasti

Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati bertepatan dengan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952 – 964) saka (1030 -1042 M). Isi prasasti itu dalam segala hal menunjukkan corak Jawa Timur. Tidak hanya huruf, bahasa dan gaya, melainkan juga gelar raja yang mirip dengan gelar raja di lingkungan Keraton Darmawangsa. Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita Parahiyangan disebut dengan nama Prabu Detya Maharaja. Ia adalah raja Sunda ke-20 setalah Maharaja Tarusbawa.

Penyebab perpecahan

Telah diungkapkan sebelumnya, bahwa Kerajaan Sunda adalah pecahan Tarumanagara. Peristiwa itu terjadi tahun 670 M. Hal ini sejalan dengan sumber berita Tiongkok yang menyebutkan bahwa utusan Tarumanagara yang terakhir mengunjungi negeri itu terjadi tahun 669 M. Tarusbawa memang mengirimkan utusan yang memberitahukan penobatannya kepada Kaisar Tiongkok dalam tahun 669 M. Ia sendiri dinobatkan pada tanggal 9 bagian-terang bulan Jesta tahun 591 Saka, kira-kira bertepatan dengan tanggal 18 Mei 669 M.

#Sanna dan Purbasora

Tarusbawa adalah sahabat baik Bratasenawa alis Sena (709 – 716 M), Raja Galuh ketiga. Tokoh ini juga dikenal dengan Sanna, yaitu raja dalam Prasasti Canggal (732 M), sekaligus paman dari Sanjaya. Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora dalam tahun 716 M. Purbasora adalah cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Batara Danghyang Guru Sempakwaja, pendiri kerajaan Galunggung. Sedangkan Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M).

Sebenarnya Purbasora dan Sena adalah saudara satu ibu karena hubungan gelap antara Mandiminyak dengan istri Sempakwaja. Tokoh Sempakwaja tidak dapat menggantikan kedudukan ayahnya menjadi Raja Galuh karena ompong. Sementara, seorang raja tak boleh memiliki cacat jasmani. Karena itulah, adiknya yang bungsu yang mewarisi tahta Galuh dari Wretikandayun. Tapi, putera Sempakwaja merasa tetap berhak atas tahta Galuh. Lagipula asal-usul Raja Sena yang kurang baik telah menambah hasrat Purbasora untuk merebut tahta Galuh dari Sena.

Dengan bantuan pasukan dari mertuanya, Raja Indraprahasta, sebuah kerajaan di daerah Cirebon sekarang, Purbasora melancarkan perebutan tahta Galuh. Sena akhirnya melarikan diri ke Kalingga, ke kerajaan nenek isterinya, Maharani Shima.

#Sanjaya dan Balangantrang

Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sena, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa, sahabat Sena. Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya.

Sebelum itu ia telah menyiapkan pasukan khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal,Yang di kemudian hari menjadi kerajaan Panjalu ,yang juga sahabat baik Sena. Pasukan khusus ini langsung dipimpin Sanjaya, sedangkan pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan malam hari dengan diam-diam dan mendadak. Seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, yang menjadi Patih Galuh, bersama segelintir pasukan.

Patih itu bernama Bimaraksa yang lebih dikenal dengan Ki Balangantrang karena ia merangkap sebagai senapati kerajaan. Balangantrang ini juga cucu Wretikandayun dari putera kedua bernama Resi Guru Jantaka atau Rahyang Kidul, yang tak bisa menggantikan Wretikandayun karena menderita “kemir” atau hernia. Balangantrang bersembunyi di kampung Gègèr Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar Indraprahasta, setelah kerajaan itu juga dilumatkan oleh Sanjaya sebagai pembalasan karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.

Sanjaya mendapat pesan dari Sena, bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga Keraton Galuh lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri tidak berhasrat menjadi penguasa Galuh. Ia melalukan penyerangan hanya untuk menghapus dendam ayahnya. Setelah berhasil mengalahkan Purbasora, ia segera menghubungi uwaknya, Sempakwaja, di Galunggung dan meminta beliau agar Demunawan, adik Purbasora, direstui menjadi penguasa Galuh. Akan tetapi Sempakwaja menolak permohonan itu karena takut kalau-kalau hal tersebut merupakan muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.

Sanjaya sendiri tidak bisa menghubungi Balangantrang karena ia tak mengetahui keberadaannya. Akhirnya Sanjaya terpaksa mengambil hak untuk dinobatkan sebagai Raja Galuh. Ia menyadari bahwa kehadirannya di Galuh kurang disenangi. Selain itu sebagai Raja Sunda ia sendiri harus berkedudukan di Pakuan. Untuk pimpinan pemerintahan di Galuh ia mengangkat Premana Dikusuma, cucu Purbasora. Premana Dikusuma saat itu berkedudukan sebagai raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir tahun 683 M), ia telah dikenal sebagai raja resi karena ketekunannya mendalami agama dan bertapa sejak muda. Ia dijuluki Bagawat Sajalajaya.

#Premana, Pangreyep dan Tamperan

Penunjukkan Premana oleh Sanjaya cukup beralasan karena ia cucu Purbasora. Selain itu, isterinya, Naganingrum, adalah anak Ki Balangantrang. Jadi suami istri itu mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka, putera pertama dan kedua Wretikandayun.

Pasangan Premana dan Naganingrum sendiri memiliki putera bernama Surotama alias Manarah (lahir 718 M, jadi ia baru berusia 5 tahun ketika Sanjaya menyerang Galuh). Surotama atau Manarah dikenal dalam literatur Sunda klasik sebagai Ciung Wanara. Kelak di kemudian hari, Ki Bimaraksa alias Ki Balangantrang, buyut dari ibunya, yang akan mengurai kisah sedih yang menimpa keluarga leluhurnya dan sekaligus menyiapkan Manarah untuk melakukan pembalasan.

Untuk mengikat kesetiaan Premana Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkan Raja Galuh ini dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda. Selain itu Sanjaya menunjuk puteranya, Tamperan, sebagai Patih Galuh sekaligus memimpin “garnizun” Sunda di ibukota Galuh.

Premana Dikusumah menerima kedudukan Raja Galuh karena terpaksa keadaan. Ia tidak berani menolak karena Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan yang setia kepadanya dan sekaligus tak mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya. Penolakan Sempakwaja dan Demunawan masih bisa diterima oleh Sanjaya karena mereka tergolong angkatan tua yang harus dihormatinya.

Kedudukan Premana serba sulit, ia sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda yang berarti harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh kakeknya. Karena kemelut seperti itu, maka ia lebih memilih meninggalkan istana untuk bertapa di dekat perbatasan Sunda sebelah timur Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya, Pangrenyep. Urusan pemerintahan diserahkannya kepada Tamperan, Patih Galuh yang sekaligus menjadi “mata dan telinga” Sanjaya. Tamperan mewarisi watak buyutnya, Mandiminyak yang senang membuat skandal. Ia terlibat skandal dengan Pangrenyep, istri Premana, dan membuahkan kelahiran Kamarasa alias Banga (723 M).

Skandal itu terjadi karena beberapa alasan, pertama Pangrenyep pengantin baru berusia 19 tahun dan kemudian ditinggal suami bertapa; kedua keduanya berusia sebaya dan telah berkenalan sejak lama di Keraton Pakuan dan sama-sama cicit Maharaja Tarusbawa; ketiga mereka sama-sama merasakan derita batin karena kehadirannya sebagai orang Sunda di Galuh kurang disenangi.

Untuk menghapus jejak Tamperan mengupah seseorang membunuh Premana dan sekaligus diikuti pasukan lainnya sehingga pembunuh Premana pun dibunuh pula. Semua kejadian ini rupanya tercium oleh senapati tua Ki Balangantrang.

#Tamperan sebagai raja

Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.

Demikianlah Tamperan menjadi penguasa Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732 – 739 M. Sementara itu Manarah alias Ciung Wanara secara diam-diam menyiapkan rencana perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya, Ki Balangantrang, di Geger Sunten. Rupanya Tamperan lalai mengawasi anak tirinya ini yang ia perlakukan seperti anak sendiri.

Sesuai dengan rencana Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan siang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk Banga. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Balangantrang memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton.

Kudeta itu berhasil dalam waktu singkat seperti peristiwa tahun 723 ketika Manarah berhasil menguasai Galuh dalam tempo satu malam. Raja dan permaisuri Pangrenyep termasuk Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Banga kemudian dibiarkan bebas. Pada malam harinya ia berhasil membebaskan Tamperan dan Pangrenyep dari tahanan.

Akan tetapi hal itu diketahui oleh pasukan pengawal yang segera memberitahukannya kepada Manarah. Terjadilah pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhir dengan kekalahan Banga. Sementara itu pasukan yang mengejar raja dan permaisuri melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan sehingga menewaskan Tamperan dan Pangrenyep.

#Manarah dan Banga

Berita kematian Tamperan didengar oleh Sanjaya yang ketika itu memerintah di Mataram (Jawa Tengah), yang kemudian dengan pasukan besar menyerang purasaba Galuh. Namun Manarah telah menduga itu sehingga ia telah menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh sisa-sisa pasukan Indraprahasta yang ketika itu sudah berubah nama menjadi Wanagiri, dan raja-raja di daerah Kuningan yang pernah dipecundangi Sanjaya.

Perang besar sesama keturunan Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai oleh Raja Resi Demunawan (lahir 646 M, ketika itu berusia 93 tahun). Dalam perundingan di keraton Galuh dicapai kesepakatan: Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga. Demikianlah lewat perjanjian Galuh tahun 739 ini, Sunda dan Galuh yang selama periode 723 – 739 berada dalam satu kekuasan terpecah kembali. Dalam perjanjian itu ditetapkan pula bahwa Banga menjadi raja bawahan. Meski Banga kurang senang, tetapi ia menerima kedudukan itu. Ia sendiri merasa bahwa ia bisa tetap hidup atas kebaikan hati Manarah.

Untuk memperteguh perjanjian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya dan berjodoh dengan Kancanasari, adik Kancanawangi.

Keturunan Sunda dan Galuh selanjutnya

Naskah tua dari kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Garut, yang ditulis pada abad ke-13 atau ke-14 memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun parit Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang merdeka. Ia berjuang 20 tahun sebelum berhasil menjadi penguasa yang diakui di sebelah barat Citarum dan lepas dari kedudukan sebagai raja bawahan Galuh. Ia memerintah 27 tahun lamanya (739-766).

Manarah, dengan gelar Prabu Suratama atau Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuwana, dikaruniai umur panjang dan memerintah di Galuh antara tahun 739-783.[2] Dalam tahun 783 ia melakukan manurajasuniya, yaitu mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir hayat. Ia baru wafat tahun 798 dalam usia 80 tahun.

Dalam naskah-naskah babad, posisi Manarah dan Banga ini sering dikacaukan. Tidak saja dalam hal usia, di mana Banga dianggap lebih tua, tapi juga dalam penempatan mereka sebagai raja. Dalam naskah-naskah tua, silsilah raja-raja Pakuan selalu dimulai dengan tokoh Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu mulai tampak dalam naskah Carita Waruga Guru, yang ditulis pada pertengahan abad ke-18. Kekeliruan paling menyolok dalam babad ialah kisah Banga yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Majapahit. Padahal, Majapahit baru didirikan Raden Wijaya dalam tahun 1293, 527 tahun setelah Banga wafat.

Keturunan Manarah putus hanya sampai cicitnya yang bernama Prabulinggabumi (813 – 852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 – 891), cicit Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852, kedua kerajaan pecahan Tarumanagara itu diperintah oleh keturunan Banga; sebagai akibat perkawinan di antara para kerabat keraton Sunda, Galuh, dan Kuningan (Saunggalah).

Hubungan Sunda-Galuh dan Sriwijaya

Sri Jayabupati yang prasastinya telah dibicarakan di muka adalah Raja Sunda yang ke-20. Ia putra Sanghiyang Ageng (1019 – 1030 M). Ibunya seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja Wurawuri. Adapun permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja Kerajaan Medang, dan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga. Karena pernikahan tersebut Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya, Dharmawangsa. Gelar itulah yang dicantumkannya dalam prasasti Cibadak.

Raja Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu Dharmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya, Dharmawangsa. Pada puncak krisis ia hanya menjadi penonton dan terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan karena harus “menyaksikan” Dharmawangsa diserang dan dibinasakan oleh Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya diancam agar bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcutta (disimpan di sana) disebut pralaya itu terjadi tahun 1019 M.

Daftar raja-raja Sunda-Galuh

No Raja Masa pemerintahan Keterangan
1 Maharaja Tarusbawa 669-723
2 Sanjaya Harisdarma 723-732 cucu-menantu no. 1
3 Tamperan Barmawijaya 732-739
4 Rakeyan Banga 739-766
5 Rakeyan Medang Prabu Hulukujang 766-783
6 Prabu Gilingwesi 783-795 menantu no. 5
7 Pucukbumi Darmeswara 795-819 menantu no. 6
8 Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus 819-891
9 Prabu Darmaraksa 891-895 adik -ipar no. 8
10 Windusakti Prabu Dewageng 895-913
11 Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi 913-916
12 Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa 916-942 menantu no. 11
13 Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa 942-954
14 Limbur Kancana 954-964 anak no. 11
15 Prabu Munding Ganawirya 964-973
16 Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung 973-989
17 Prabu Brajawisesa 989-1012
18 Prabu Dewa Sanghyang 1012-1019
19 Prabu Sanghyang Ageng 1019-1030
20 Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati 1030-1042

Catatan: Kecuali Tarusbawa (no. 1), Banga (no. 4), dan Darmeswara (no. 7) yang hanya berkuasa di kawasan sebelah barat Sungai Citarum, raja-raja yang lainnya berkuasa di Sunda dan Galuh.

Raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon

Di bawah ini adalah urutan raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon, yang berjumlah 13 orang :
Raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon

No Raja Masa pemerintahan Keterangan
1 Wretikandayun 670-702
2 Rahyang Mandiminyak 702-709
3 Rahyang Bratasenawa 709-716
4 Rahyang Purbasora 716-723 sepupu no. 3
5 Sanjaya Harisdarma 723-724 anak no. 3
6 Adimulya Premana Dikusuma 724-725 cucu no. 4
7 Tamperan Barmawijaya 725-739 anak no. 5
8 Manarah 739-783 anak no. 6
9 Guruminda Sang Minisri 783-799 menantu no. 8
10 Prabhu Kretayasa Dewakusalesywara Sang Triwulan 799-806
11 Sang Walengan 806-813
12 Prabu Linggabumi 813-852
13 Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus 819-891 ipar no. 12

Catatan: Sanjaya Harisdarma (no. 5) dan Tamperan Barmawijaya (no. 7) sempat berkuasa di Sunda dan Galuh. Penyatukan kembali kedua kerajaan Sunda dan Galuh dilakukan kembali oleh Prabu Gajah Kulon (no. 13).

Raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati

Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati, yang berjumlah 14 orang :
Raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati

No Raja Masa pemerintahan Keterangan
1 Darmaraja 1042-1065
2 Langlangbumi 1065-1155
3 Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur 1155-1157
4 Darmakusuma 1157-1175
5 Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu 1175-1297
6 Ragasuci 1297-1303
7 Citraganda 1303-1311
8 Prabu Linggadéwata 1311-1333
9 Prabu Ajiguna Linggawisésa 1333-1340 menantu no. 8
10 Prabu Ragamulya Luhurprabawa 1340-1350
11 Prabu Maharaja Linggabuanawisésa 1350-1357 tewas dalam Perang Bubat
12 Prabu Bunisora 1357-1371 paman no. 13
13 Prabu Niskala Wastu Kancana 1371-1475 anak no. 11
14 Prabu Susuktunggal 1475-1482

September 10, 2009 Posted by | 1, BABAK V Lahirnya Kerajaan Galuh | Leave a comment

Babak IV Lahirnya Kerajaan SUNDA

Kerajaan Sunda  (669-1579 M) Menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang didirikan menggantikan KerajaanTarumanagara yang makin Turun Pamornya,apalagi setelah Lepasnya Galuh dari Tarumanagara praktis Kekuasaan Tarumanagara terbagi menjadi Dua,SUNDA dan GALUH.Istilah Sunda di pakai Tarusbaya dan kemudian Memindahkan Ibukota nya ke Sundapura,karena Tarusbaya sebelum menggantikan mertuanya, Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi  adalah Raja Sunda,Waktu dia berkuasa di Sunda,kerajaan sunda merupakan kerajaan bawahan Tarumanagara.Adalah Wretikandayun Cicit dari Raja Purnawarman ke VII Suryawarman yang menganuhgrahkan Manikmaya ,menatunya sebuah daerah di  Kendan beserta rakyat dan tentara.Dan pada perkembangan berikutnya kerajaan Kendan menjadi kerajaan yang membawahi berpuluh puluh kerajaan kecil,pada akhirnya sang Wretikandayun memerintah Kendan dan memindahkan  ibukota nya ke Galuh di Kawali.Hingga akhirnya menjadi kerajaan Galuh pakuan.

Sedangkan Kerajaan Sunda  tahun 591 Saka ( 669 M) yang di Perintah Oleh Tarusbawa saat itu juga membawahi Sumatra bagian selatan akibat pernikahan putra mahkotanya dengan putri dari kerajaan Lampung.

Setelah memindahkan Pemerintahan Ke Sundapura,Kerajaan Tarumanagara menjadi kerajaan Bawahan Sunda,Tarusbawa Di nobatkan Sebagai Raja Sunda pada  9 pon Suklapaksa,bulan Yista tahun 519 Saka ( 18 Mei 669 M ).Perbatasan Sunda dan Galuh di sepakati pada Aliran Sungai Citarum( Kerajaan Sunda di sebelah Barat Citarum dan Galuh berada di sebelah Timur Citarum sampai ke kali Gomati berbatasan dengan Kerajaan Kalingga.

Tarus bawa  sebenarnya Punya penerus putra mahkota yaitu Rakyan Sundasambada tapi Putra mahkota meninggal waktu masih sangat muda,tinggalah Putri perempuannya Nyai Sekarkancana yang kemudian di nikahkan ke Sanjaya dari Galuh dari pernikahan itu Sanjaya mempunyai anak laki laki bernama rahyang Tamperan,ketika Tarusbawa mangkat (723 M ) Sanjaya menggantikan nya karena Tamperan masih Belia. yang pada saat itu di tahun yang sama Sanjaya naik tahta Galuh dengan menggulingkan Purbasora,yang telah merebut kekuasaan di Galiuh dari tanganBratasenawa ayahanda Sanjaya,sehingga pada saat itu Sunda  dan Galuh bersatu kembali. Pada 732 M Sanjaya  Menyerahkan Kekuasaan Sunda –Galuh kepada Putranya Tamperan,Kemudian Sanjaya memerintah Kalingga (keling) karena Sanjaya merupakan Putra Mahkota kerajaan Kalingga,Ibunda Sanjaya menikah dengan Raja Kalingga.

Sanjaya memerintah Kalingga selama 22 tahun (732-754) kemudian Tahta di serahkan kepada Putranya dari pernikahan dengan Dewi Sudiwara yaitu Rakyan Panangkaran.

Hariangbanga Menikahi Putri dari Saunggalah Dewi Kancanasari dan memperoleh keturunan bernama Rakyan Medang,yang kemudian melanjutkan memerintah Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan Gelar Prabhu Hulukujang,karena Hanya memperoleh Keturunan Perempuan selanjutnya Prabhu Hulukujang mewariskan Tahta kepada Menantunya,Rakyan Hujung kulon yang bergelar Prabhu Gilingwesi yang berasal dari Galuh,prabhu Gilingwesi adalah Putra dari Sang Mansiri. Kemudian Prabhu Gilingwesi memerintah Sunda selama 12 tahun,tetapi Prabhu Gilingwesi juga hanya mempunyai keturunan perempuan yang dinikahkan pada Rakyan Diwus,Praktis kekuasaan di jatuhkan pada menantunya Rakyan Diwus yang kemudian Bergelar Prabhu pucukbhumi yang memerintah selama 24 tahun dari tahun 795 M ke tahun 819 M.

 

Prabhu Pucukbhumi  dikaruniai putra mahkota yaitu rakyan Wuwus,yang kemudian menikah dengan Putri dari Sang Welengan (Raja Galuh,806-813).akhirnya Sang Welengan juga mewarisi Tahta galuh,di tangannya Sunda Galuh Kembali di persatukan secara otomatis.beliau bergelar Prabhu Gajah kulon yang  memerintah sampai Mangkat tahun 891 M.

Sepeninggal Prabhu Gajah Kulon Sunda Galuh jatuh ke tangan Adik kandungnya,Arya Kadatwan.Tetapi karena Beliau tidak di sukai oleh para Pembesar Sunda beliau pun Di Bunuh pada tahun 895 M. dan tahta Sunda Galuh jatuh ke tangan Putranya Rakyan Windusakti.

Kekuasaan ini selanjutnya di wariskan kepada Putra mahkotanya,Rakyan kamuninggading pada tahun 913 M. Rakyan Kamuning gading kemudian memegang tahta selama 3 tahun karena kemudian terjadi perebutan kekuasaan yang di mastermind oleh adiknya sendiri,Rakyan Jayagiri pada tahun 916 M. Rakyan Jayagiri memerintah selama 28 tahun,selanjutnya Tahta di wariskan pada menantunya,Rakyan watuagung,pada tahun 942 M.

Tersebutlah Sang Limburkancana putra dari Kamuning gading yang di gulingkan oleh adiknya.sang Limbur kancana membalaskan dendam ayah nya,perebutan oleh sang Limburkancana terjadi pada tahun 954,dan pemerintahanya berakhir pada 964.

Sang limburkancana mewariskan tahta kepada Putra nya Rakyan Sundasambada yang memerintah selama 9 tahun 964-973 M. karena Rakyan Sundasambada tidak memiliki keturunan maka tahta selanjutnya di wariskan pada adik kandung nya Rakyan jayagiri          973-989 M.
Rakryan Jayagiri mewariskan kakuasaanana kepada  putranya, Rakryan Gendang (989-1012), diteruskan oleh cucunya  Prabhu Déwasanghyang (1012-1019 M). dari Déwasanghyang, kakuaasaan diwariskan pada putranya, selanjutnya  Dewasanghyang membuat  prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantunya Dharmawangsa Teguh dari Jawa, mertua dari  raja Airlangga (1019-1042).

Dari Sri jayabhupati kekuasaan selanjutnya di wariskan ke putranya,Dharmaraja pada tahun 1042-1064. Selanjutnya diteruskan oleh cucu  dari menantunya  Prabhu Langlangbhumi pada 1064-1154 M.

Pada 1154 Putra mahkota meneruskan tahta kerajaan Rakyan jayagiri 1154 sampai 1156 M.Cuma 2 tahun memerintah kemudian Rakyan jayagiri mewariskan pada cucunya Prabhu Dharmakusuma tahun 1156-1175 M.

Pada pemerintahan Prabhu Dharmakusuma kekuasaan Sunda Galuh di wariskan pada putranya,Prabu Guru Dharmasiksa,yang di anugrahi umur panjang dan memerintah selama 122 tahun dari tahun 1175 -1297 M.Dharmasiksa memerintah Sunda Galuh dari Saunggalah memerintah selama 12 tahun selanjutnya memindahkan ibukota kerajaan ke Pakuan pajajaran tempat Moyangnya  memerintah dahulu (Tarusbawa)

Sepeninggal Prabhu Dharmasiksa,kekuasaan Sunda Galuh jatuh ke Putranya Rakyan Saunggalah dengan gelar Prabhu ragasuci,yang memegang pemerintahan selama 6 tahun 1297-1303 M.

 Prabhu Ragasuci selanjutnya  digantikan oleh putranya,Prabhu Citraganda yang berkuasa selama 8 tahun 1303-1311 M.keturunan Citraganda selanjutnya yang  memerintah yaitu Prabhu Linggadewata 1311-1333.karena prabhu linggadewata tidak di karuniai putra mahkota maka kekuasaan di teruskan oleh menantunya,Prabhu Ajiguna Linggawisesa dan memerintah  pada1333-1340 M. selanjutnya di gantikan oleh  Prabhu ragamulya Luhurprabawa pada       1340 M.

Beliau memerintah selama 10 tahun sampai tahun 1350 M. Putra mahkota yang meneruskan adalah Prabhu maharaja Linggabuanawisesa pada 1350-1357,pada akhir pemerintahannya Prabhu Maharaja Linggabuanawisesa gugur di palagan  Bubat saat akan menikahkan Putrinya Dyah pitaloka citraresmi,kepada Raja Majapahit,Prabhu  Hayamwuruk,Baca: Dyah pitaloka,darah dan airmata kawali.

Saat terjadi perang berdarah di Bubat Putra mahkota saat itu masih belia yaitu Niskalawastukancana,beruntung putra mahkota saat itu tidak mengiringi kakak dan orangtuanya ke majapahit,sehingga Niskalawastukancana terhindar dari amuk Mahapatih Gajah mada.

Untuk mengisi posisi raja yang kosong pada saat itu Patih Mangkubhumi Sang Prabhu Bunisora meneruskan tampuk tahta Sunda –Galuh pada 1357 sampai 1371 M.pada saat itu Putra Mahkota telah dewasa dan meneruskan sebagai  Raja Sunda Galuh sepeninggal Prabhu Bunisora.Prabhu Niskalawastukancana memerintah selam 104 tahun.pada 1371-1475 M.

Prabhu Niskalawatukancana mempunyai 2 permaisuri yaitu

Nay ratna sarkati yang di anugrahi seorang putramahkota bernama Sang Haliwangun.setelah Sang Haliwangun dewasa beliau di anugrahi kekuasaan di Sunda yaitu batas sungai citarum ke barat Sang Haliwangun menjadi raja Sunda dengan gelar Prabhu Susuktunggal beliau memerintah dari Pakuan pajajaran yang kemudian membangun sebuah keraton Sri Bhima Punta Narayana Madura Suradipati.pemerintahanya terbilang lama 1382-1482 M.sedangkan dari Citarum ke timur masih di pegang oleh Prabhu Niskalawastukancana.

Nay Ratna Mayangsari,memberikan keturunan putra mahkota yang bernama Ningratkancana setelah Ningrat mewarisi kekuasaan Ayahnya(Prabhu Niskalawastukancana)beliau bergelar Prabhu Dewaniskala,yang meneruskan pamerintahan Niskalawastukancana dari batas citarum ke arah timur,praktis Sunda dan Galuh terbagi 2 kembali,tetapi Prabhu Ningratkancana memerintah galuh tidak selama kakak tirinya yang memerintah Sunda,PrabhuNingratkancana memerintah selama 7 tahun pada 1475-1482 M.

Raja Sunda dan raja Galuh ingin mempersatukan kembali kedua kerajaan ini dengan menikahkan Jayadewata (putra mahkota Galuh) dengan Ambetkasih Putri dari Sunda(putra Prabhu susuktunggal) akibat dari  pernikahan itu praktis Sunda Galuh menjadi satu kerajaan.pada 1482 Jayadewata memerintah sunda Galuh dengan Gelar Sribaduga Maharaja.

Kerajaan Sunda mengalami keemasan pada masa Sri Baduga Maharaja, Sunda-Galuh dalam prasasti disebut sebagai Pajajaran dan Sri Baduga disebut oleh rakyat sebagai Siliwangi, dan kembali ibukota pindah ke barat.

Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki 6 buah Jung (kapal laut model Cina) untuk perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun).

Sepeninggal Sribaduga Maharaja,kekuasaan Sunda-Galuh di perintah oleh Putramahkotanya yaitu Prabhu Surawisesa pada 1521-1535,pada masa pemerintahan nya prabhu surawisesa pernah menandatangani plakat dengan Portugis yang isinya Portugis di perbolehkan membangun benteng dan misi dagang di pelabuhan Sundakalapa sebagai imbalanya Portugis di wajibkan memberi perlindungan dan membantu Sunda atas serangan dari Cirebon yang baru memisahkan diri dari Sunda serta membendung serangan dari Demak.selanjutnya prabhu Dewatabhuanawisesa memerintah tahun 1535-1543,kemudian digantikan oleh Prabhu sakti pada 1543-1551,Prabhu Nilakendra melanjutkan pada 1551-1567,selanjutnya keberadaan kerajaan sunda di tutup oleh Prabhu Suryakancana  yang  memerintah pada 1567-1579 runtuhnya kerajaan Sunda-Galuh di sebabkan Serangan dari Kasultanan Banten yang beberapa kali melakukan penyerangan ke Pajajaran dengan misi meng-Islamkan tanah pasundan.Baca 

Runtuhnya Kekuasaan Sunda-Galuh.

 

Raja-raja Kerajaan Sunda

Di bawah ini urut urutan Raja raja yang memerintah SUNDA menurut naskah pangeran Wangsakerta dalam tahun Masehi :

1. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 – 723)
2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 – 732)
3. Tamperan Barmawijaya (732 – 739)
4. Rakeyan Banga (739 – 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 – 783)
6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 – 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 – 819)
8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 – 891)
9. Prabu Darmaraksa (adik kandung  Rakeyan Wuwus, 891 – 895)
10. Windusakti Prabu Déwageng (895 – 913)
11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 – 916)
12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 – 942)
13. Atmayadarma Hariwangsa (942 – 954)
14. Limbur Kancana (putra Rakeyan Kamuning Gading, 954 – 964)
15. Munding Ganawirya (964 – 973)
16. Rakeyan Wulung Gadung (973 – 989)
17. Brajawisésa (989 – 1012)
18. Déwa Sanghyang (1012 – 1019)
19. Sanghyang Ageng (1019 – 1030)
20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 – 1042)
21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 – 1065)
22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 – 1155)
23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 – 1157)
24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 – 1175)
25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 – 1297)
26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 – 1303)
27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 – 1311)
28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (Gugur di palagan  Perang Bubat, 1350-1357)
32. Prabu Bunisora (1357-1371)
33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)
35. Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
38. Prabu Sakti (1543-1551)
39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40. Prabu Ragamulya atawa Prabu Suryakancana (1567-1579)

BERSAMBUNG…….

Di edit oleh

Fajar Dwi Herdiyan

dari kitab kitab:

* Aca. 1968. Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi. Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung.
* Ayatrohaédi. 2005. Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” dari Cirebon. Pustaka Jaya, Jakarta.
* Édi S. Ékajati. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-329-1
* Yoséph Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Geger Sunten, Bandung.

September 10, 2009 Posted by | 1, BABAK IV Lahirnya Kerajaan Sunda | 1 Comment